Pramoedya Ananta Toer dalam buku berjudul Anak Semua Bangsa (1980) pernah menulis begini, “Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri.”
Kutipan novelis legendaris asal Indonesia itu agaknya relevan dengan situasi terkini bahasa daerah yang ada di Indonesia. Berdasarkan catatan Badan Bahasa Kemdikbud, terdapat 718 bahasa daerah dari 2.560 daerah pengamatan di Indonesia hingga Oktober 2019. Dari jumlah tersebut, dikonfirmasi 8 bahasa daerah telah punah, 5 bahasa dalam keadaan kritis, 24 bahasa terancam punah, dan 12 bahasa dalam kondisi rentan.
Lantas bagaimana dengan bahasa daerah di Sulawesi Tengah (Sulteng)?
Adriansyah Lamasituju, kepala Badan Musyawarah Lembaga Adat Sulawesi Tengah, menuturkan bahwa salah satu bahasa lokal di Sulteng, yakni bahasa Kaili, mengalami ancaman kepunahan.
Hal ini lantaran lemahnya upaya pelestarian bahasa Kaili. Fenomena yang terjadi di masyarakat sekarang lantaran kebanyakan tak lagi aktif bertutur dengan bahasa Kaili, terutama generasi muda yang diharapkan menjadi penerus.
“Anak-anak di Palu enggan berbicara bahasa daerah. Setelah menjadi dewasa, karena mungkin lupa atau sama sekali tidak tahu bahasa Kaili, ketika ada penduduk yang bukan dari etnis Kaili, tidak bisa belajar soal kearifan lokal, salah satunya bahasa Kaili,” tutur Adrian ketika dihubungi Tutura.Id (20/1/2023).
Bahasa Kaili merupakan bahasa utama yang dipertuturkan secara aktif oleh masyarakat di lembah Palu dan sekitarnya, seperti sebagian daerah di Kabupaten Sigi, Donggala, hingga Parigi Moutong.
Menurut Adrian, bahasa Kaili memiliki 10 dialek. Namun, masih banyak lagi subetnis lainnya. Empat di antaranya yang paling umum digunakan adalah Ledo, Tara, Rai, dan Da’a. Setiap dialek punya komunitas penuturnya masing-masing.
Wilayah administratif kecamatan Palu Timur, terutama di Besusu atau Pantai Talise hingga Palu Selatan, terjadi perjumpaan keempat dialek tersebut, meski dialek Ledo masih cenderung mendominasi.
Kemudian dialek Tara lebih aktif dipertuturkan di daerah Mantikulore, Guntarano (Donggala) ke arah Parigi Moutong.
Dialek Da’a aktif jadi bahasa warga di sekitar perbatasan Palu dan Donggala di bagian pegunungan. Sementara itu dialek Rai lebih sering jadi bahasa sehari-hari warga di Pantai Barat (Donggala).
Meski semua dialek dalam bahasa Kaili punya kesamaan, tapi masih terdapat perbedaan sekitar 51-75 persen. Sedangkan perbedaannya dengan rumpun bahasa lain yang ada di Sulteng berkisar 71-79 persen.
Identitas bahasa Kaili maupun dialeknya makin terancam karena beberapa warga yang berasal suku maupun etnis Kaili tertentu mulai pasif bertutur bila keluar dari komunitasnya.
“Jadi kalau mau dengar dialek Tara aktif, tunggu saja orang Kawatuna atau Lasoani ketemu di Pasar Lasoani. Begitupula kalau mau dengar dialek Ledo dan lainnya. Kadang juga bahasa Kaili aktif ketika ada forum-forum resmi yang mengharuskan menggunakan bahasa Kaili,” sambung Adrian.
View this post on Instagram
Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulteng Dr. Asrif, S.Pd., M.Hum. menjelaskan lebih gamblang lagi. Ia mengungkapkan bahwa semua bahasa daerah lokal di Sulteng memiliki kencederungan ditinggalkan.
“21 bahasa daerah lokal yang ada di Sulteng, berada dalam posisi yang tidak aman. Dalam artian tidak memiliki stabilitas, lestari, dan tangguh,” ucap Asrif saat ditemui Tutura.Id di ruangannya (20/2/2023).
Badan Bahasa Kemendikbud RI menggolongkan status bahasa daerah dalam enam kategori, yaitu aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah.
Sementara untuk menentukan derajat kepunahan suatu bahasa, UNESCO menetapkan sembilan indikator untuk menentukan derajat kepunahan bahasa.
Indikator itu mencakup transmisi bahasa antargenerasi, besarnya jumlah penutur, perbandingan penutur dengan jumlah penduduk, kecenderungan dalam ranah pemakaian bahasa, daya tanggap terhadap ranah baru dan media, materi untuk pendidikan bahasa dan keberaksaraan, kebijakan bahasa oleh pemerintah dan institusi—termasuk status resmi dan pemakaiannya, sikap komunitas penutur terhadap bahasa mereka, serta jumlah dan kualitas dokumentasi bahasa.
Asrif mencontohkan bahasa daerah lokal, yakni bahasa Kaili. Meski tak ada sensus yang presisi mengenai jumlah penuturnya, namun bila melihat jumlah penduduk dari komunitas suku Kaili yang tersebar di enam daerah di Sulteng, potensi penutur bahasa Kaili masih terbilang banyak.
Bila melihat peta bahasa daerah di Sulteng, ada lima daerah yang jadi kantong komunitas berbahasa Kaili tersebar di Palu, sebagian Sigi, Donggala, Parigi Moutong, hingga Poso.
Pun begitu bahasa Kaili justru mengalami kerentanan. Alasannya karena walaupun berada di pusat pemerintahan provinsi, eksistensi bahasa daerah ini justru terdesak oleh penggunaan bahasa lain di kalangan anak muda.
“Sangat jarang ditemui pelajar dan mahasiswa beretnis Kaili yang tinggal di Palu jadi penutur bahasa daerah. Kalau bukan pasif, mereka tidak bisa,” ungkap Asrif.
Kondisi ini terjadi secara menerus, bahkan dipengaruhi oleh pemangku kebijakan yang belum satu pun mengeluarkan regulasi di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten/kota, pemerintah dan DPRD, untuk melindungi bahasa daerah Kaili. Justru kebanyakan cenderung memiliki standar ganda; tak mau bahasa daerah punah, tetapi di sisi lain minim aksi nyata.
Hal ini berbanding terbalik dengan bahasa Jawa, salah satu bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahasa Jawa sangat kuat karena didukung regulasi baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Misalnya Perda 2/2021 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Contoh lain Perda 2/2014 tentang Pelestarian Bahasa dan Budaya Jawa oleh Pemerintah Kabupaten Klaten.
Selain itu, bahasa Jawa juga menjadi salah satu minat keilmuan yang dipelajari di perguruan tinggi. Empat universitas ternama di Indonesia bahkan memiliki program studi (prodi) Sastra Jawa. Ada juga pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa di Yogyakarta, Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim).
Gejala lain yang menyebabkan adanya ancaman kepunahan bahasa daerah di Sulteng, antara lain hegemoni bahasa lain. “Daerah Sigi misalnya, ada irisan berbagai bahasa lokal seperti Kaili, Kulawi, maupun Pipikoro. Mana bahasa yang paling kuat dituturkan di komunitas itu tanpa sadar memaksa etnis yang lain untuk berbahasa sama,” ungkap Asrif.
Selain itu, bahasa daerah mulai ditinggalkan karena adanya pengaruh streotip (ejekan) dari masyarakat. Bila seseorang berbahasa daerah, maka akan disebut sebagai orang udik. Kondisi ini akhirnya bikin penutur bahasa daerah yang sebenarnya kuat, lebih memilih memakai bahasa Indonesia.
Asrif menuturkan agar bahasa daerah di Sulteng keluar dari ancaman kepunahan, Kemendikbud memasukkan Sulteng dalam daftar 19 daerah yang bahasa daerahnya direvitalisasi pada tahun 2023.
“Bahasa daerah yang akan direvitaliasi antara lain Kaili, Pamona, Banggai, dan Saluan.” Pungkas Asrif.
Program revitalisasi bahasa daerah akan menyasar para siswa sekolah. Pihaknya akan menyusun modul bahasa daerah untuk memenuhi beberapa item kegiatan, semisal pidato, menulis, mendongeng, bercerita, komedi tunggal, dan lainnya.
Usulan lain untuk melestarikan bahasa Kaili dari menyelematkannya dari kepunahan datang dari Adrian. Pemerintah daerah, kata Adrian, bisa menetapkan salah satu kelurahan di kota Palu sebagai Perkampungan Kaili.
“Lewat Kampung Kaili nantinya semua kearifan lokal etnis Kaili seperti budaya Kaili, bahasa, hingga kuliner bisa ditampilkan,” ujar Adrian.
bahasa bahasa daerah ancaman kepunahan tidak aman Kaili Pamona Banggai Saluan Sulteng Asrif Adriansyah Lamasituju balai bahasa badan musyawarah lembaga adat