Ikhtiar Simalia, penyair perempuan dari Desa Taripa dalam melestarikan dadendate dari kepunahan
Penulis: Anggra Yusuf | Publikasi: 26 Januari 2024 - 11:04
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Ikhtiar Simalia, penyair perempuan dari Desa Taripa dalam melestarikan dadendate dari kepunahan
Penyair dadendate, Simalia dari Desa Taripa, Kabupaten Donggala. Dia tidak hanya eksis tampil di atas panggung, tapi juga fokus menatih penerusnya.(Foto: dokumentasi pribadi/Simalia)

Cuaca saat kami berkunjung ke Desa Taripa sangat bersahabat siang menjelang sore itu. Burung-burung berkicau dari balik rimbunnya pepohonan menemani beragam aktivitas warga. 

Setibanya di dekat kantor desa, kami menyinggahi perkumpulan warga yang didominasi oleh perempuan. Menanyakan perihal alamat seorang penyair perempuan bernama Simalia.

Seorang perempuan paruh baya menghampiri dan menjawab pertanyaan kami. Tak disangka dirinya adalah saudara kembar Simalia, pelantun syair sastra lisan khas Suku Kaili yang kami cari sedari tadi. 

Dia kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Nurlia.

Ketika berbincang mengutarakan niat kami untuk menemui saudarinya itu, Nurlia mengabari bahwa Simalia berada di Kota Palu menjenguk anak semata wayangnya yang tengah hamil.

Tidak ingin kami “lari kosong” karena sudah jauh-jauh datang dari Palu ke Desa Taripa dengan menempuh jarak sekitar 79 kilometer, Nurliapun mengajak untuk berkunjung ke rumah Simalia. Meski sang tuan rumah tidak berada di rumah.

Secara geografis, Desa Taripa terhimpit dua gunung. Di kaki hingga punggungan bukit, kebun warga dan pepohonan hijau tumbuh.

Sebagian penduduk Desa Taripa adalah petani ladang. Mereka bergantung hidup dari sektor itu untuk makan, untuk biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lain.

Kendati demikian, kehidupan mereka masih begitu sederhana. Rumah-rumah berdinding tripleks, termasuk rumah Simalia. Sebagian pula berdinding beton, namun beberapa rumah tampak lubang-lubang menganga termakan usia. 

Dari Nurlia kami mengetahui sebelum sang suami berpulang pada 2014, Simalia sehari-hari mengurus rumah tangga dan bekerja membantu suaminya berkebun.

Saat ini Simalia hanya fokus untuk mengurus rumah tangga sendirian setelah ditinggal anaknya yang harus mengikuti suaminya kerja di Kota Palu.

Saat mengetahui niat kami untuk mencari tahu tentang eksistensi dadendate di tangan Simalia, Nurlia langsung membernarkan bahwa kesenian itu merupakan asli asal Desa Taripa.

“Dadendate ini kalau dari cerita-cerita orang tua kami memang asalnya dari tanah kami,” katanya.

***

Tiga hari berselang, kami akhirnya dapat bertemu Simalia di kediaman anaknya di Kota Palu. Dirinya saat itu sedang membantu mengurusi rumah anaknya yang tengah hamil.

Mengenakan daster lengan panjang dan hijab, dirinya sesekali menyahuti cucunya yang kerap mengajaknya berinteraksi kala berbincang dengan kami.

Pada malam itu, dirinya banyak bercerita soal ketertarikannya pada kesenian dadendate. Semua berawal dari kesukaan menonton para pendahulunya tampil dan latihan.

"Saya suka dengar syair-syairnya, begitu saya ba ayun anakku, saya ikuti sedikit demi sedikit. Itu sekitar 30 tahun lalu. Saya akhirnya mau belajar dadendate dari Ibu Yasamomi. Beliau juga memang tante saya," kenangnya menahan tangis. 

Lantunan syair dalam dadendate ditembangkan secara spontan, puitis, tanpa teks ataupun naskah-naskah dalam Bahasa Kaili subetnik Rai.

Improvisasi syair dari pelantunnya jadi kunci, bergantung acara atau kegiatan yang dilaksanakan. Temanya pun bisa apa saja, mulai dari sejarah, romantisme muda-mudi, silsilah, perjuangan, dan lain-lain.

Pun begitu, biasanya disisipkan pesan-pesan dalam syairnya yang bermanfaat bagi sesama, ajakan berbuat kebaikan, persatuan, menyampaikan berita/informasi, atau cerita babakan sejarah secara runut. Dari awal hingga akhir.

Durasi pertunjukan dadendate ini mulai dari hitungan menit, bahkan bisa berlangsung semalam suntuk. Para senimannya biasa diundang untuk mengisi acara adat, pesta panen, syukuran, acara perkawinan, sunatan, dan hari-hari besar lainnya. 

Sekali main, jumlah personelnya minimal tiga orang dan maksimalnya tidak terbatas. Jika dimainkan tiga orang, maka dua orang menjadi pelantun syair-syair, dan salah seorang di antaranya sambil bermain kecapi, sedangkan satu orang lagi meniup mbasi-mbasi.

Sejak saat itu, Simalia mengaku kian rutin menonton kesenian tersebut dan perlahan belajar pula secara otodidak. Terlebih, bila para penampil tersebut diundang menghargai berbagai acara, baik yang berlangsung di desanya maupun desa tetangga. 

“Saya akhirnya pelan-pelan belajar sendiri. Makanya waktu itu saya kasih tahu Om Usman dan Ibu Yasamomi bila boleh latihan di rumah (saya) saja, dengan harapan saya bisa sambil mengurus anakku yang masih kecil waktu itu, ” kenangnya. 

Bekal dan ketertarikan itu pula yang membuat dirinya juga sering dilibatkan langsung dalam pementasan dadendate, meski Simalia belum begitu lancar dalam melantunkan beragam syair. Itu semua dilakukannya di bawah bimbingan dan arahan dari tantenya, yakni Yasamomi. 

Seiring waktu, Simalia muda akhirnya diberikan kesempatan tampil pada acara yang lebih besar. Awal karirnya sebagai seniman dadendate dimulai pada tahun 1995.

Perempuan yang lahir pada 27 Juli 1960 ini bersaksi pemerintah kabupaten maupun provinsi dulunya kerap mengundang seniman dadendate. Begitu juga undangan tampil di luar Sulawesi.

Inilah yang menjadi salah satu motivasinya dan mimpinya bisa tampil di hajatan level pemerintah, bukan lagi di level desa.

"Pemikiran saya pertama kali, kan, karena senang saya dengar awalnya, nanti saya dengar juga diundang ke luar daerah, senang sekaligus tambah ingin mempelajari,” kenang wanita berusia 63 tahun ini.

Penampilan Simalia di pada gelaran Indonesia Music Expo (IMEX) yang berlangsung di Puri Lukisan Ubud, Bali pada Maret 2022 lalu (Foto: dokumentasi pribadi/Simalia)

Keinginan itu kemudian terwujud seiring dengan konsistennya Simalia melestarikan dadendate. Beberapa undangan manggung di luar Sulawesi pernah ia jejali.

Salah satunya pada gelaran Indonesia Music Expo (IMEX) yang berlangsung di Puri Lukisan Ubud, Bali pada Maret 2022 lalu.

Menurutnya, IMEX adalah salah satu acara yang paling berkesan, karena begitu banyak yang menikmati pertunjukannya dan menginginkan durasi penampilan dadendate ditambah. Antusiasme serupa juga diakuinya kerap hadir di acara-acara serupa selain di Bali. 

“Waktu itu memang peserta lain, termasuk panitia ingin kami tampil lebih lama waktunya dari yang ditentukan sebelumnya, akhirnya kami mengiyakan. Ketika hari kedua kami pun menolak karena tenaga kami tak seperti anak-anak muda. Memang orang di Bali tertarik sekali dengan dadendate,” ucap Simalia dengan nada bercanda.

Menciptakan penerus

Ketertarikan atas dadendate pada medio 1990-an itu ternyata tak sama dengan masyarakat di Desa Taripa saat ini. Simalia bersaksi bahwa minat generasi muda dalam melestarikan warisan budaya ini terbilang minim.

Meski masih sangat mudah menemukan bahan pembuatan kecapi dan mbasi-mbasi yakni Pohon Lengaru serta bambu dan rotan di hutan desa ini. Namun itu kuran berarti bila tidak ada yang bisa memainkan kesenian ini.

Seiring berjalannya waktu, zaman dan jenis hiburan kekinian menjadi tantangan terberat bagi kesenian ini. Dadendate yang tercatat sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada 2015 oleh Kemendikbud RI ini perlahan kalah dengan hiburan modern.

Akibatnya regenerasi dadendate di kalangan anak muda terancam karena sepi peminat. Ditambah lagi panggung pementasan yang kian terhimpit. 

"Belum ada lagi tampil, terakhir kali Agustus 2023 di Festival Tenun Donggala. Mungkin sekarang banyak yang masih belum tertarik, apalagi handphone makin canggih dan banyak pilihan hiburannya orang. Memang warga Taripa yang bikin acara kami masih diundang walaupun jarang-jarang juga ada acara,” jelasnya dengan dialek Kaili subetnik Rai yang kental. 

Kesulitan kesenian ini tidak hanya sampai di situ. Syair-syair yang dilantunkan juga cukup sulit untuk dirangkai karena harus sesuai dengan situasi pada saat pertunjukan berlangsung.

Lirik dari nyanyian ini harus dilantunkan secara berima. Spontanitas inilah yang menjadi tantangan untuk menguasai kesenian tradisional ini. Simalia pun mengakui tidak mudah pada awalnya.

Bak manusia yang berusia  lanjut, keberlangsungan kesenian dadendate kian tertatih langkahnya. Panggung tradisi lisan ini kian terhimpit. Namun upaya dan semangat untuk menjaganya masih tetap ada. Setidaknya tekad dari Similia belum luntur.

Tantangan terberat adalah menumbukan minat generasi muda di Desa Taripa untuk menekuni kesenian dadentade di tengah perkembangan teknologi dan beragamnya sumber hiburan di era modern ini.(Foto: Anggra Yusuf/Tutura.Id)

Ikhtiar melestarikan warisan leluhur ini telah dimulainya sejak 2020. Simalia bersama beberapa personelnya saat itu mulai mencari penerus mereka.

Beruntung Simalia menemukan penerusnya dalam melantukan syair. Harapannya kini ada pada dua anak remaja perempuan; Safira yang kini duduk di kelas 5 SD dan Wulandari saat ini menginjak kelas VII SMP.

Kedua perempuan muda ini  berkeinginan belajar jadi penyair dadendate

Sejak saat itu pula Simalia membimbing kedua anak perempuan tersebut. Motivasi dan dorongan terus diberikan kepada anak-anak didiknya. Agar kelak kesenian ini bertahan dan terus hidup di tengah kehidupan masyarakat.

“Dua anak yang saya latih pernah bertanya, 'Seperti apa kotanya orang, Nenek?' Saya jawab, bagus sekali, Nak. Makanya kamorang (baca: kalian) harus belajar degan tekun dan giat supaya ada dorongan untuk bejalar dan menjaga dadendate,” ujar Simalia.

Motivitasi ingin melihat dunia luar, kini juga disematkan kepada mimpi anak-anak perempuan di desanya. Dengan menyairkan dadendate diharapkan bisa membawa mereka dari pangung ke pangung. Layaknya dirinya dulu.

Simalia mengatakan mereka suka latihan setiap Sabtu malam. Waktu itu dipilih menyesuaikan dengan jadwal sekolah.

Metode latihannya pun disesuaikan lebih santai, agar lebih mudah paham dengan situasi mental anak yang sedang berkembang itu. 

"Memang sering nongei (bercanda), ya. Namanya anak-anak. Saat latihan ada catatan biasanya sebagai bahan latihan dan juga hafalan supaya ke depan bisa lancar," ucapnya dengan nada santai mengingat momen saat melatih. 

Dia pun mengaku tetap berusaha mencari penerus penyair lain, khususnya di Desa Taripa. Sebab semakin banyak penerus, semakin baik pula upaya pelestarian kesenian ini. Semakin lekat citra desanya sebagai “lumbung” kesenian ini.   

Walau diakuinya dirinya kerap sedih dan merasa tidak mudah bila melihat kehidupan generasi muda hari ini yang dekat dengan budaya modern.

Di sisi lain, padahal ada permintaan dari wilayah lain yang ingin dilatih. Pilihan itu dilakukannya agar lebih fokus melatih anak didiknya saat ini. 

“Memang ada rencana itu. Ibaratnya kami masih gombal-gombal, ambil pelan-pelan hatinya karena tidak boleh juga dilaksanakan. Sekarang ini ada orang minta (melatih) tapi kami belum bersedia karena masih ada penerus (yang harus dilatih) di desa kami,” akunya.

Patung Dadendate di tugu Desa Taripa, Kabupaten Donggala. Desa yang berjarak 79 kilometer dari Ibukota Palu ini dikenal sebagai daerah asal kesenian yang terdaftar sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada 2015 oleh Kemendikbud RI (Foto: Anggra Yusuf/Tutura.Id)

Syair lestari, musik pun lestari

Simalia menerangkan kegiatan berkesenian ini sebelumnya di bawah komando Usman Lajanja; sang peniup mbasi-mbasi yang juga dijuluki maestro dadendate. Usman adalah peraih Anugerah Maestro Seni Tradisi dari Kemendikbud.

Usman wafat awal 2023 lalu dan Simalia meneruskan perjuangannya. Dia terus melatih para penerus kesenian ini bersama Ali Musso, personel senior yang bermain kecapi.

“Sebelum Om Usman meninggal, latihan pasti di rumahnya. Beliau yang juga terus kasih semangat kita untuk berusaha mempertahankan dadendate ini sampai akhir hayatnya. Sekarang kalau latihan di rumah saya,“ kenang Simalia. 

Selain Usman Lajanja dan Yasamomi yang jadi guru bagi Simalia, ada pula para generasi pendahulu lainnya, seperti Indoami, Lagompuyu, Musugero, dan Latarompo.

Sosok-sosok tersebut yang juga berhasil membawa kesenian ini akhirnya dikenal hingga level nasional sejak medio 1990-an. Namun, mereka semua telah berpulang. 

Simalia mengungkapkan pewarisan dadendate ke generasi muda adalah penting. Tujuannya agar seni tradisi tetap bertahan atau bahkan berkembang di masyarakat.

Namun, pewarisan terkendala karena sebagian orang tak tertarik pada seni tradisi. Padahal, seni tradisi berisi pengetahuan, identitas, serta memori kolektif masyarakat yang dibalut dalam pementasan pada momen-momen tertentu. 

Alhasil masa kejayaan seni bertutur dadendate kian tergerus kemajuan zaman. Saat ini pertunjukan dadendate sudah merupakan peristiwa langka. Hanya sedikit sekali anak muda yang mau atau tertarik mempelajarinya. 

Sangat mungkin bahwa ketika generasi tua yang mempertahankan dadendate akhirnya meninggal, bentuk seni ini juga akan hilang, iringan musik dari mbasi-mbasi dan kecapi yang tampaknya tak terbatas dan kreasi puisi spontan akan hilang selamanya.

Di tengah kehidupan sehari-hari yang serba sederhana, Simalia acapkali menyelipkan pesan kala berbincang dengan kami bahwa nyanyian orang tua terdahulu tak boleh dilupakan.

Selain itu, dalam kesempatan tampil pada acara resmi yang dihadiri oleh unsur pemerintah, dirinya sebagai penyair kerap menyisipkan narasi kritik. Semacam mempertanyakan kehadiran para pemangku kebijakan dalam upaya pelestarian kesenian ini. 

"Biasanya dibilang waktu dilantunkan, 'Diperhatikan atau tidak dadendate ini?' Dan biasanya orang dukung kami bilang begitu. Karena harapan kami diperhatikan juga nasib dadendate ini,” ucap Simalia dengan nada cukup tegas. 

Pun begitu, wanita berhijab itu mengutarakan mimpinya untuk tetap mempertahankan warisan luhur nenek moyang kepada generasi penerus. Ketakutan akan hilangnya kesenian ini membuat dirinya terus berupaya menggaungkan kesenian dadendate

Ibu satu anak itu bertekad untuk terus melestarikan sastra lisan asal desa tempatnya tinggal. Sehingga tumpuan harapan pelestarian kini berada di pundaknya meski telah lanjut usia.

“Harus tetap lestari. Harapanku dua anak perempuan itu yang bisa melanjutkan. Ini warisan orang tua dulu. Jangan sampai punah,” pungkasnya.

Liputan ini merupakan hasil kerja sama Tutura.Id bersama Project Multatuli  untuk serial #MasyarakatAdat dan #PerempuanAdat

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
0
Lucu
1
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Bentrokan di Pasar Inpres Manonda: Kronologi, pemicu, dan penangkapan pelaku penikaman
Bentrokan di Pasar Inpres Manonda: Kronologi, pemicu, dan penangkapan pelaku penikaman
Bentrokan di Pasar Inpres Manonda dipicu oleh peristiwa penikaman. Kini pelaku penikaman telah ditangkap. Warga…
TUTURA.ID - Festival Film Pelajar Sulteng bangkit lagi
Festival Film Pelajar Sulteng bangkit lagi
Festival Film Pelajar Sulteng akhirnya dibangunkan lagi dari tidur panjangnya. Karya siswa SMKN 1 Sigi…
TUTURA.ID - Workshop Sastra Pakuli: Ikhtiar penciptaan karya sastra jadi medium pencatatan keragaman botani herbal
Workshop Sastra Pakuli: Ikhtiar penciptaan karya sastra jadi medium pencatatan keragaman botani herbal
Keragaman bahan tanaman obat di Desa Pakuli memantik minat untuk dicatatkan. Uniknya, kekayaan pengetahuan lokal…
TUTURA.ID - Eksplorasi Rio Bouty di kolam gambar
Eksplorasi Rio Bouty di kolam gambar
Jika menggambar diibaratkan kolam luas, maka Rio Bouty akan selalu menjelajahinya tanpa henti demi mencoba…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng