Stori penjual pisang goreng legendaris di Kota Palu
Penulis: Rizki Syafaat Urip | Publikasi: 1 November 2022 - 16:58
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Stori penjual pisang goreng legendaris di Kota Palu
Om Sabo sudah berjualan pisang goreng selama lebih dari empat dekade. - (Foto: Rizki Urip).

Aroma pisang goreng nan khas menguar di udara, menerbitkan hasrat mengudap, dan tercium jelas bahkan ketika masih berjarak lima rumah dari warung pisang goreng yang jadi tujuan saya pada sore itu (31/10/22).

Pisang Goreng Om Sabo. Begitulah para pelanggan menyebutnya. Warung pisang goreng ini sudah berusia lebih dari 42 tahun. Tempatnya sempat berpindah-pindah, sebelum menempati satu titik di Jalan Rajawali, tak jauh dari pertigaan Jalan Moh. Hatta. 

Tempat jajan ini buka antara 13.00-18.30 WITA. Saban hari, orang-orang mengantre demi bisa mencicip sanggara legendaris itu. Dulu bahkan sempat pakai nomor antrean.

Warungnya berupa bangunan semi permanen, yang bernaung di bawah satu pohon mangga besar. Batang pohon mangga tersebut bahkan terlalu besar untuk dipeluk orang dewasa. Ia jadi semacam peneduh di antara panas api dan asap tipis-tipis dari tungku di warung tersebut.

Kala saya tiba, ada satu mobil dan beberapa motor yang parkir di depan warung. Dua perempuan paruh baya dan dua lelaki tua tengah menyeriusi pekerjaan mereka. Ada yang mengupas pisang, menggoreng, mencampur adonan, dan melayani pelanggan serah-terima sanggara. 

Saya terpaku pada seorang perempuan paruh baya yang bekerja di hadapan tungku tradisional. Ia terlihat piawai dan lincah untuk pekerjaannya. Satu tangannya sibuk membolak-balik pisang di atas wajan; tangan yang lain mengurusi campuran pisang dengan adonan tepung di sampingnya.

“Pesan 10 ribu, makan di sini. Boleh tante?” Lantaran sudah berulang kali telan ludah, saya langsung pesan sepiring pisang goreng. “Boleh, silakan duduk,” jawab perempuan itu. Tak berselang lama, sepiring pisang goreng sudah tersaji. Warnanya kuning kecokelatan; lengkap dengan sambal.

Sembari mengudap, saya mengobrol pendek dengan keempat pekerja itu. Keempatnya merupakan keluarga Om Sabo, sang empunya warung.

Om Mubin (75), sosok paling tua dari keempat pekerja, jadi yang paling sering menyahuti saya. Dia pernah berjualan dengan Om Sabo pada tahun-tahun awal usaha ini berdiri. Itu sekitar empat puluh tahun silam. Sekarang, dia sesekali datang dan sebut dirinya sebagai anggota tidak resmi.

“Sekarang ini tiga orang mereka (yang bekerja). Kalau saya jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar,” katanya beriring tawa.

Om Mubin bilang dia sering mampir sebagai seorang teman seperjuangan. Usaha pisang goreng ini, kata Om Mubin, banyak membantunya membiayai sekolah pada masa lampau. “Saya tidak (kerja) di sini setelah terangkat jadi PNS di Parigi Moutong. Dulu namanya masih Donggala,” katanya.

Tak lama berselang, Edi (41), salah seorang cucu Om Sabo, datang menghampiri saya di dalam warung. Edi lantas mengajak saya menemui Om Sabo. Kami masuk ke dalam sebuah rumah di pekarangan yang sama, dan langsung menuju dapur. Di sana, Om Sabo sedang masak sayur dan goreng ikan untuk makan malam.

***

Suasana di warung Pisang Goreng Om Sabo, Jalan Rajawali, Kota Palu, Senin (31/10). - (Foto: Rizki Urip)

Om Sabo, sekadar sapaan akrabnya. Nama lengkapnya Sabran Marana. Meski usianya sudah 77 tahun, ia masih gesit memasak. Lebih-lebih bila yang dimasak ialah pisang goreng. Spesialisasi yang sudah ditekuninya lebih dari empat dekade. 

Sambil memasak, Om Sabo menjawab berbagai pertanyaan dari saya. Ia tampak menikmati pekerjaan dapur; mulai dari menyiapkan bumbu, memotong sayur, hingga membolak-balik ikan di wajan.

“Sekitar tahun 80-an, saya sudah mulai bajual,” katanya. Itu hitungan penggenapan. Oom Sabo sebenarnya start berjualan beberapa tahun sebelumnya, tetapi masih berpindah-pindah dan tidak setiap hari. Barulah pada 1980, penjual pisang goreng jadi profesi yang melekat padanya; beriring dengan aktivitas jualan harian, dan warung yang sudah menetap. 

Pria kelahiran 1945 itu mempelajari sendiri cara membuat pisang goreng dan sambal. Eksperimen, katanya.

Ada dua jenis pisang yang dijualnya, pisang raja dan pisang sepatu. Dua pisang itu bercita rasa berbeda. Tiap jenis juga punya peminat masing-masing. Demikian halnya dengan tingkat kematangan gorengan. Ada yang suka tidak terlalu matang; sebaliknya beberapa yang lain lebih suka digoreng gurih. 

Pada tahun-tahun awal jualan, kata Om Sabo, penjual pisang goreng masih belum banyak. Pesaing masih bisa dihitung. Harga bahan juga lebih murah. Dengan Rp20 ribu sudah bisa bawa pulang satu tandan pisang. Sekarang, butuh setidaknya Rp70 ribu untuk setandan pisang.

Dulu, dengan modal tipis, Om Sabo bisa beroleh hasil penjualan berkisar Rp700 ribu. Sekarang, laku Rp500 ribu belum tentu balik modal.

Kini pendapatannya memang sedang naik-turun. Paling sedikit Rp300 ribu per hari. Bila sedang moncer bisa tembus Rp1 juta dalam sehari. “Kalau lagi musim hujan banyak yang beli,” ucap pria asli Toaya, Donggala tersebut.

Pisang Goreng Om Sabo buka tiap hari. Hanya libur bila empunya sedang kurang enak badan atau tidak ada yang bantu. Maklum, dengan usianya sekarang, kupas pisang dua atau tiga tandan nyaris tak mungkin dikerjakan sendiri. 

Pada masa primanya, Om Sabo plus dua orang pekerja bisa kupas hingga 10 tandan pisang. Ia juga pernah kupas 60 sisir pisang berukuran jumbo seorang diri. Sekarang, dengan usia mendekati 80 tahun, hal-hal macam itu nyaris tak mungkin lagi dilakukan.

“Sekarang masih jualan karena ada yang bantu. Terus jadi olahraga, kalau tidak begitu asam uratku kambuh-kambuh,” ujar Om Sabo.

Pisang goreng Om Sabo juga pernah terbang jauh. Hingga Jakarta. Sampai Belanda. “Ada langgananku menikah dengan orang jakarta. Anaknya kuliah di Belanda. Jadi dia pesan harga 200 ribu, tapi dibungkus jadi dua. Satu ke Jakarta, satunya lagi ke Belanda,” katanya.

Saat ditanya soal rahasia cita rasa dagangannya, Oom Sabo bilang yang terpenting cita rasa harus dijaga. Salah satu caranya adalah tetap mempertahankan penggunaan tungku tradisional. Ia mengaku pernah beralih ke kompor, tetapi balik lagi pakai tungku karena masukan dari pelanggan. “Beda rasanya,” kata Om Sabo. 

Sudah lebih dari 42 tahun Om Sabo jualan pisang goreng. Pelanggannya pun beragam, dari orang biasa sampai para pembesar. Bila sudah rasa pisang gorengnya sekali, kemungkinan besar akan balik dan beli lagi.

Usaha ini juga sudah banyak membantu keluarga. Mulai dari keponakan hingga cucu.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
34
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
1
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Pimpinan irit bicara soal tagihan hotel palsu di DPRD Palu
Pimpinan irit bicara soal tagihan hotel palsu di DPRD Palu
Puluhan anggota DPRD Kota Palu diterpa isu miring soal dugan tagihan palsu hotel dalam perjalanan…
TUTURA.ID - Pembatasan kantong plastik di Palu; pelanggar bisa kena sanksi ''uang paksa'' dan pencabutan izin
Pembatasan kantong plastik di Palu; pelanggar bisa kena sanksi ''uang paksa'' dan pencabutan izin
Pemkot Palu menerapkan pembatasan penggunaan kantong plastik dan styrofoam. Pelaku usaha yang melanggar bisa kena…
TUTURA.ID - Agus Suryaningprang melakoni seni tari lebih dari 40 tahun
Agus Suryaningprang melakoni seni tari lebih dari 40 tahun
Pengampu Sanggar Seni Maradika ini menghabiskan lebih dari separuh umurnya menggeluti dunia seni, mulai dari…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng