Fahreza Nurhidayat menjadi satu-satunya pelajar asal Indonesia dari kawasan timur yang berkompetisi di ajang International Earth Science Olympiad (IESO) ke-15 di Aosa, Italia (24-31 Agustus 2022). Kompetisi berlangsung secara daring alias online.
Olimpiade Kebumian Internasional merupakan ajang kompetisi siswa praperguruan tinggi untuk bidang ilmu kebumian. Meliputi pengetahuan terkait geosfer (geologi dan geofisika), hidrosfer (hidrologi dan oseanografi), atmosfer (meteorologi dan klimatologi), dan astronomi (sains keplanetan).
IESO berlangsung sejak 2007 dan menjadi salah satu dari tiga belas Olimpiade Sains Internasional yang diselenggarakan oleh GeoSciense Education Organization (IGEO). Tujuan organisasi nonpemerintah internasional mengadakan olimpiade ini untuk mempromosikan peningkatan kualitas pendidikan geosains di seluruh dunia. Reputasinya sudah tak perlu diragukan lagi.
Fahreza bersama tujuh siswa lainnya dikirim oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Pusat Prestasi Nasional. Mereka terpilih setelah menjadi yang terbaik dalam Kompetisi Sains Nasional (KSN) di bidang Ilmu Kebumian tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional, Kemendikbudristek.
Hasilnya Tim Olimpiade Ilmu Kebumian Indonesia (TOIKI) membawa pulang 14 medali dari empat kategori yang dilombakan, baik secara perorangan maupun beregu. Keberhasilan ini membuat Fahreza mantap memilih bidang kebumian sebagai pilihan studinya kini.
Menjadi satu dari 304 peserta yang berasal dari 40 negara di dunia berlaga di IESO tentulah menjadi kebanggaan tersendiri bagi Eca, sapaan akrab Fahreza. Masih lekat diingatannya bagaimana mereka bahu-membahu mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.
Eca dkk. berhasil mengantongi dua emas, empat perak, dan delapan perunggu. Sementara pencapaian pribadinya terukir dengan meraih medali perak lewat kategori lomba Data Mining Test.
Komposisi tim Indonesia yang berkompetisi di IESO, selain Eca yang berasal dari SMA Al-Azhar Mandiri Palu, turut diperkuat Alvin Dermawan (SMAN 1 Probolinggo), Gevin Kurniawan (SMAN Plus Provinsi Riau), Muhammad Wildan Tamami (SMAN 1 Ponorogo), Revanda Ghassan Randityo (SMAN 1 Tambun Selatan), Sheren Ardeline Tantrian (SMAK Immanuel Pontianak), Yoga Sanjaya (SMAN 3 Surakarta), dan Wafi Haidi (MAN Insan Cendekia Serpong).
Sempat gugur di Pelatnas
Kiprah pertama mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) terjadi pada tahun 2020. Kala itu dirinya meraih medali perunggu. Kemudian ia mengikuti Tahapan Pembinaan Nasional yang diselenggarakan Kemendikbudristek.
Pembinaan nasional berisi siswa-siswi yang meraih medali dalam ajang OSN ini terdiri dari tiga tahapan. Eca kala itu langsung gugur pada tahap pertama. Tak patah semangat, ia coba kembali mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2021. Hasilnya adalah medali emas. Kesempatan menjadi bagian dalam tim Olimpiade Kebumian Internasional 2022 akhirnya terwujudkan.
“Tentu senang karena bisa mewakili Indonesia. Saya juga menjadi satu-satunya siswa dari timur Indonesia. Jadi kebanggaan tersendiri. Terkadang orang-orang melihat bagian Timur Indonesia itu tidak terlalu nampak. Itu juga yang menjadi motivasi dan dorongan dari diri saya,” tulisnya saat kepada Tutura. Id via WhatsApp (6/10/2022).
Manis getir perjuangan tadi membawa Eca pada sebuah pemaknaan baru tentang arti kemenangan. Baginya kemenangan sejati ketika berhasil melawan ego. Menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan kesombongan dalam diri. Kalimat itu dituliskannya dalam buku tahunan angkatan SMA-nya.
Pemikiran bijak itu boleh jadi sebagai salah satu bentuk rasa syukur Fahreza atas pencapaiannya selama ini. Apalagi dia mengaku memiliki support system yang baik dan selalu berada di sampingnya. Mereka adalah orang tua dan para guru pembimbing. Kumpulan orang dewasa yang menurutnya mendukung pilihannya.
“Orang tua memang sempat lebih mengharapkan saya masuk ke sekolah-sekolah kedinasan, semacam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Alhamdulillah akhirnya mereka memercayai dan mengijinkan saya menuntut ilmu di ITB. Saya bersyukur mendapatkan dukungan dari orangtua yang suportif seperti mereka,” Eca menambahkan.
Makin yakin
Pengalaman mengikuti banyak lomba, salah satunya ajang IESO, membuat Eca makin yakin menekuni earth science alias bidang kebumian. Padahal diakuinya bidang ini baru dikenalnya saat memasuki bangku kelas 10.
Namun bagaikan cinta pada pandangan pertama, bidang kebumian langsung membuatnya terpincut. Apalagi dalam kenyataan dia melihat saat ini penduduk bumi sedang dalam krisis energi.
“Nah, ilmu kebumian sebenarnya sangat luas. Erat kaitannya dengan aspek sains dari bumi, dengan aspek humaniora dari bumi. Hal-hal inilah yang menurut saya sangat komprehensif dan bisa membuat kita berpikir lebih luas. Dan saya sangat suka dengan hal seperti itu,” demikian Eca melanjutkan.
Oleh karena itu, pria kelahiran Palu, 11 Agustus 2003, memilih jurusan Teknik Pertambangan dan Perminyakan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Jadwal perkuliahan nan padat di kampus kini jadi menu sehari-hari.
“Memang aktivitas menjadi maba itu sebenarnya merupakan aktivitas baru yang saya rasakan. Transisi dari kehidupan SMA terus lanjut ke kuliah itu, kan, ada berbagai hal yang berbeda. Aktivitas di ITB cukup padat, tapi harus tetap dijalani dengan bahagia,” ungkapnya.
Asa untuk memajukan daerah asal dan tanah kelahirannya juga masih berkobar dalam dirinya. Dengan penuh semangat Eca menyatakan keinginannya untuk pulang ke Palu usai menuntut ilmu di ITB.
Berbekal tambahan pengetahuan dan pengalaman berharga yang diperolehnya setelah mengikuti serangkaian perlombaan IESO, Eca makin yakin dengan arah langkah untuk menata masa depan.