Surga telinga berhamburan di Festival Tende
Penulis: Juenita Vanka | Publikasi: 11 Februari 2024 - 21:08
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Surga telinga berhamburan di Festival Tende
Penampilan Rival Himran di panggung Festival Tende pada Sabtu malam (10/2/2024) di depan Toko Nadoli kawasan Pasar Tua. (Foto: Andi Baso Djaya/Tutura.Id)

Kata atau istilah tende sebenarnya terangkut dari bahasa Kaili yang artinya pujian. Laku dan kebiasaan saling tende warga penghuni Lembah Palu yang teramat sering dalam berbagai tempat dan kesempatan akhirnya menyematkan julukan lain bagi kota ini; “Palu Kota Tende”. Warganya kena imbas dengan stereotipe “asli tukang tende”.

Sejatinya budaya tende adalah hal yang positif karena memuji orang lain. Namun, sebagai orang timur yang menganggap membenarkan pujian adalah hal yang tidak sopan, sebagai gantinya orang akan lebih memilih untuk menolak pujian itu. Sebenarnya ini adalah respons basa-basi.

Nah, respons penolakan basa-basi itu akan ditanggapi dengan pujian yang semakin banyak dan berlapis. Bila sudah seperti itu, orang yang dipuji akan memuji balik dan yang dipuji akan memuji kembali.

Begitulah seterusnya. Sampai pada tingkat saling melontarkan pujian satu sama lain. Di titik inilah orang Kaili menyebutnya dengan “baku tende” alias saling memuji.

Perkara tende yang seolah telah mendarah daging bagi orang-orang Palu ini kemudian jadi pembahasan dalam Festival Tende volume 1 yang diadakan oleh Andi Agtas Foundation, Sabtu (10/2/2024).

Lokasinya di depan Toko Nadoli kawasan Pasar Tua (kini Bambaru), tepatnya persimpangan Jalan HOS Cokroaminoto dan Jalan Daeng Pawindu, Kampung Baru, Palu Barat. Pemilihan lokasi acara yang notabene jadi sentra pertemuan dan terjadinya proses akulturasi antara budaya Arab, Cina, dan Kaili juga terasa pas.

Penampilan peserta dalam tende battle. (Foto: Andi Baso Djaya/Tutura.Id)

Iphin Topeko sebagai pemandu acara saat sesi sore mengatakan, “Ini daerah yang tingkat tendenya 99,9% bikin terbang ente, fren.”

Frasa “terbang ente, fren” dijadikan slogan acara. Ini sejalan dengan ungkapan betapa sanjung puji bisa “menerbangkan” orang hingga ke awang-awang.

Rival Himran, bassis kelompok Steven & Coconut Treez yang juga mengibarkan proyek solo bernama Kailiman, menambahkan efek dahsyat tende warga Kampung Baru saat menjadi salah satu pembicara dalam sesi talkshow bertajuk “Lestarikan Budaya Tende” yang berlangsung malam hari.

“Kamu lihat tiang listrik depan Toko Nadoli ini,” ujar Rival kepada penonton yang telah ramai berkumpul sembari menunjuk tiang listrik di samping panggung. “Jadi miring begitu lantaran tiap hari kena tende. Ha-ha-ha,” sambungnya berkelakar.

Jangankan bagi yang tidak terbiasa mendengar, orang yang sudah kenyang mendapatkan surga telinga saja bisa melambung perasaannya saban kena tende.

Diakui Rival, keandalan melempar tende yang dimilikinya akhirnya jadi bekal sangat berguna dalam memasuki lingkup pergaulan musisi di Jakarta. “Tende itu seni berkata-kata. Bikin orang tersenyum,” ungkap Rival.

Muhammad Risman, yang turut hadir dalam sesi gelar wicara alias talkshow menemani Rival, menambahkan bahwa kebiasaan baku tende sejatinya lebih banyak menghasilkan nilai positif. “Kita bisa memotivasi orang melalui tende,” tambahnya.

Risman yang juga salah satu penggagas Kampung Baru Fair mengatakan bahwa laku baku tende bisa pula meningkatkan hormon dopamin alias happy hormone seseorang. Perasaan yang bahagia tentu saja memengaruhi aktivitas keseharian. Membuat tubuh jadi lebih rileks dan pikiran tidak stres.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Tutura Indonesia Media (@tutura.id)

Saling lempar pujian

Akbar Supratman selaku ketua dewan pengawas Andi Agtas Foundation mengungkapkan acara ini bermaksud untuk melestarikan budaya tende. Menurut Akbar, tende bukan hanya sekadar “surga telinga” dalam tongkrongan, namun bagian dari budaya. Sebuah seni berbicara untuk mengakurkan tali silaturahmi antara satu sama lain.

“Jadi tende ini jangan di lihat sisi negatifnya, tapi kita jadikan semacam cara berkomunikasi untuk membangun pertemanan yang tentunya positif di antara lingkup pergaulan kita,” jelasnya ketika ditemui lepas acara.

Pantauan Tutura.Id aksi saling melempar pujian seolah mengalir deras selama acara berlangsung. Bukan hanya penonton yang kena tende, Gubernur Sulawesi Tengah H. Rusdy Mastura yang menyempatkan hadir di atas panggung juga dapat bagian. Bung Cudy, 74 tahun, yang mungkin sudah “kebal” tende tetap saja tersenyum mendengar pujian yang dialamatkan kepadanya.

Gubernur Sulteng, Rusdy Mastura (kedua dari kiri) ikut hadir di panggung Festival Tende Vol. 1. (Foto: Juenita Vanka/Tutura.Id)

Kalimat tende paling sering terdengar, salah satunya, “Surga semua kamorang (kalian, red.) di sini.” Yang mendengar hanya bisa mengucapkan kalimat thayyibah berbunyi, “Masya Allah Tabarakallah.”

Selain itu, bentuk lontaran tende rupanya mengalami sedikit modifikasi di kalangan generasi muda kekinian. Pemandu acara, misalnya, kerap mengeluarkan stok tende dari atas panggung yang lebih mirip lontaran ala pesohor Jessica Iskandar.

“Yang di jalan hati-hati, yang di hati jalan-jalan,” tutur MC dari atas panggung. Meski berhasil bikin orang tersenyum simpul mendengarnya, kalimat tersebut jika merujuk penjelasan Risman dalam sesi gelar wicara sebenarnya tidak pas disebut tende.

"Apa yang membedakan tende dengan pujian biasa? Kalau tende itu masuknya halus sehingga orang tidak sadar sedang kena tende," ungkap Risman saat menjelaskan pemahamannya terhadap makna tende kepada pengunjung.

Selain sesi gelar wicara yang membahas makna dan kebiasaan tende orang-orang Palu, festival perdana ini juga menghadirkan beragam acara lain. Sejak sore telah hadir senam zumba yang diikuti puluhan ibu-ibu. Sementara rombongan kaum Adam berpartisipasi dalam acara keliling kota mengendarai skuter yang finis di tepat di lokasi acara Festival Tende.

Beragam stan kuliner yang menjual aneka makanan dan minuman juga memenuhi sisi kiri kanan jalan. Pengunjung yang hadir sejak sore dan makin ramai saat hari berganti malam jadi tak perlu khawatir perutnya keroncongan.

Tak ketinggalan panggung musik yang berdiri di tengah simpang jalan menambah kemeriahan dengan penampilan Idham Lapasere, KB18, The Box, Rival Himran, dan Fresly Nikijuluw sebagai pemungkas.

Fresly, nyong Ambon yang namanya sedang melambung terutama bagi pengguna aplikasi TikTok, bahkan sempat melontarkan tende kepada penonton sebelum menyanyikan lagu “Hallo Ade Nona”.

Sebagai bentuk ingin melestarikan budaya tende yang dianggap telah menjadi kearifan lokal di Palu, panitia juga menggelar aksi saling baku tende di atas panggung yang terbagi dalam dua sesi. Pesertanya terdiri dari 3-4 orang yang dikenal jago tende. Konsepnya mirip aksi saling berbalas pantun dalam kebudayaan Betawi.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
1
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
1
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Bertemu Bayasa; penyembuh bergender netral dari Tanah Kaili
Bertemu Bayasa; penyembuh bergender netral dari Tanah Kaili
Aco sudah berusia 60 tahun. Ia kini satu-satunya bayasa yang tersisa di wilayah Palolo dan…
TUTURA.ID - Simbol warna kuning dan maknanya dalam kebudayaan Kaili
Simbol warna kuning dan maknanya dalam kebudayaan Kaili
Warna kuning sebagai warna tertinggi dalam kebudayaan Kaili tidak lahir begitu saja. Pilihan ini punya…
TUTURA.ID - Ziarah ke makam Pue Bulangisi yang terlupakan
Ziarah ke makam Pue Bulangisi yang terlupakan
Sosoknya dianggap sebagai Dato Karama dari Mandar. Jasa besarnya juga termaktub dalam Hikayat Bulangisi. Sayang…
TUTURA.ID - Rekap bencana di Sulteng akibat cuaca ekstrem sepekan terakhir
Rekap bencana di Sulteng akibat cuaca ekstrem sepekan terakhir
Lima  bencana alam terjadi dalam sepekan terakhir di  Sulawesi Tengah. Bencana ini terkait cuaca ekstrem,…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng