Bila cuaca di pagi hari sedang cerah, dan kau sedang berada pada area nan tinggi di Palu, cobalah lemparkan pandanganmu ke arah Teluk Palu. Mungkin kau akan melihat kabut tipis yang melayang-layang di atas Lembah Palu.
Sepintas terlihat indah. Kenyataannya tak begitu. Jauh dari kata indah. Ia malah lebih dekat dengan penyakit, dan bencana.
Kabut tipis yang menggantung sekitar 400-500 meter dari permukaan tanah itu merupakan kumpulan materi partikulat. Kalau mau gampang, kau boleh menyebutnya sebagai polutan atau pencemar udara. Komposisinya bisa macam-macam mulai dari debu, jelaga, asap, dan tetesan cairan.
Lantas, dari mana sumbernya? Jangan terkejut. Kabut tipis itu bersumber dari kau dan saya. Yah, kita. Manusia yang sehari-hari memacu sepeda motor, mengendarai mobil, membakar sampah, menikmati listrik dari mesin diesel milik korporasi setrum pelat merah, hingga merokok.
Sumber lainnya ialah debu. Tak salah juga bila sebagian dari kita langsung teringat aktivitas pertambangan di Palu dan sekitarnya. Kota ini memang dikelilingi oleh pertambangan. Mulai dari emas hingga pasir dan batu berlimpah. Masalahnya, debu tambang ikut mengepul ke udara. Menjadi polutan.
View this post on Instagram
Perkara emisi kendaraan dan aktivitas pertambangan pemicu polutan itu disampaikan oleh Asep Firman Ilahi, Kepala Stasiun Pemantauan Atmosfer Global Lore Lindu Bariri-Palu--menginduk kepada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Pada awal Januari 2023, seperti dilansir TVRI Palu, Asep menyampaikan bahwa kualitas udara di Palu cenderung masuk kategori “sedang” dan “tidak aman.” Situasi itu bersandar pada hasil pemantauan yang berlangsung sepanjang 2022.
Emisi kendaraan dan aktivitas pertambangan jadi penyumbang utama peningkatan PM2,5. Istilah itu merujuk pada polutan super tipis dan tak kasat mata. Ukurannya sekitar 2,5 mikron; hanya 3% dari diameter rambut manusia. Kita baru bisa melihatnya seperti kabut tipis lantaran telah terkumpul jadi satu.
“Nah partikel ini ketika dihirup oleh manusia akan melekat pada saluran pernapasan,” ujar Asep, kepada Tutura.Id. “Kita seperti hidup di dalam akuarium yang kotor. Udara tidak berani naik ke atas karena terhalang oleh polutan.”
Berbagai material yang terkandung dalam PM2,5 memang berbahaya bagi kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan bahwa PM2,5 jadi pemicu bagi gangguan pernapasan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), kanker paru-paru, hingga masalah kardiovaskular alias gangguan fungsi jantung.
Sekadar informasi, merujuk data kepolisian, jumlah kendaraan di Palu saat ini mencapai 339 ribu. Itu berbending jumlah penduduk yang berkisar 373 ribu. Alhasil, kalau mau dibuat mudah, hampir tiap orang di kota ini punya satu kendaraan.
Polusi memicu perubahan iklim
PM2,5 hanyalah salah satu jenis partikel pencemar udara. Ada pula PM10, yang serupa PM 2,5 tetapi ukurannya lebih tebal (10 mikron). Lalu ada NO2 alias nitrogen dioksida yang sering disebut gas paling beracun. Ada pula 03 atau ozon; S02 atau sulfur dioksida.
PM2,5 mungkin jadi yang paling sering disorot karena kehadirannya banyak dipicu oleh aktivitas manusia. Lagi pula, lantaran bersumber dari aktivitas manusia, seharusnya ia bisa dikontrol.
Selain berdampak pada kesehatan manusia, PM2,5 juga berkontribusi pada perubahan iklim.
Pada konteks ini, polusi juga perlu dilihat secara global. Palu misalnya, masih lebih baik level polusinya dibanding kota-kota Indonesia lainnya, terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Belum lagi menghitung polusi dari kota-kota lain di dunia.
Layanan IQAir, pada Rabu (1/2/2023), menyebut Astana di Kazakhstan sebagai kota dengan polusi udara terburuk. Nilainya sampai 301 masuk level "berbahaya".
Adapun Jakarta berada di posisi 29, dengan nilai 88 dan berstatus level "sedang." Level polusi ibu kota Indonesia itu sama dengan Palu. Namun Palu punya nilai lebih kecil yakni 59. Sederhananya, soal polusi udara, Palu dan Jakarta itu sebenarnya beda tipis alias sebelas dua belas.
Secara global, perkara polusi ini tertuang pula dalam target nol emisi, yang jadi langkah mitigasi perubahan iklim. Tahapan menggerus emisi itu antara lain dilakukan dengan mengurangi pembakaran bahan bakar fosil--salah satu sumber utama PM2,5.
Sebuah video dari Communication for Change menjelaskan secara sederhana proses polusi mengakibatkan perubahan iklim. Ringkasnya, polusi yang diakibatkan aktivitas manusia telah membuat ucara tercemar. Kumpulannya yang naik ke udara membentuk selimut polusi.
Selimut polusi inilah yang membuat bumi semakin panas. Seperti seseorang yang sedang demam, dan dibungkus oleh selimut, kian lama tubuhnya makin panas.
Pada titik ini, kita mengenal istilah global warming dan climate change (perubahan iklim). Bumi yang makin panas memberi dampak pada keseimbangan alam.
Es di kutub mencair lebih cepat. Alhasil permukaan air laut naik. Bumi yang kian panas juga memicu cuaca ekstrem. Gelombang pasang jadi hal yang biasa terjadi pada hari-hari terakhir. Ia memicu proses abrasi lebih cepat; mengikis area pesisir. Sejumlah kampung di pantai utara Jawa hilang lantaran kombinasi kenaikan permukaan air laut, dan abrasi.
Agaknya kenaikan permukaan air laut hingga gelombang pasang itu turut memicu "timbul tenggelam" di Tompe, Pantai Barat Donggala. Tak semata-semata karena gempa, atau penurunan tanah.
Panas bumi yang meningkat juga bikin cuaca tak tentu. BMKG bahkan sering dibuat bingung dengan anomali cuaca. Palu yang dikenal panas, tiba-tiba jadi dingin seperti Bandung.
Kota yang konon punya tujuh matahari ini dalam tiga tahun terakhir jadi lebih sering turun hujan. Penyebabnya ialah fenomena La Nina yang bikin curah hujan jadi lebih sering terjadi di wilayah timur Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam seabad, La Nina terjadi tiga tahun berturut-turut.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melukiskan penyebab hattrick La Nina sebagai berikut, "Semua peristiwa alam yang terjadi saat ini terjadi dalam konteks perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, yang meningkatkan suhu global, memperburuk cuaca dan iklim ekstrem, serta memengaruhi pola curah hujan dan suhu musiman."
Imbasnya terasa di Palu dan Sulawesi Tengah. Curah hujan yang meningkat memicu terjadinya bencana akibat siklus air (hidrometeorologi), misal banjir, dan tanah longsor.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan peningkatan drastis peristiwa banjir di Sulteng antara 2012-2022. Tiga tahun terakhir peningkatannya bahkan melonjak drastis--lihat data di atas.
Bila sudah begitu, polusi tak bisa dilihat sekadar ancaman pada kesehatan. Ia juga merugikan dalam jangka panjang, sebab memperburuk perubahan iklim, dan bikin bencana lebih sering terjadi.