Absen tiga tahun akibat pandemi Covid-19, acara World Dance Day (WDD) 24 Jam Menari akhirnya terselenggara lagi tahun ini. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta selaku penyelenggara mengusung tema “Menari Imaji dan Relasi”.
Sesuai namanya, pergelaran sandratari ini hadir nonstop sehari semalam. Bermula pukul 06.00 WIB pada 29 April, bertepatan dengan peringatan Hari Tari Sedunia, lalu berakhir pada jam yang sama keesokan harinya.
Gelaran tahun ini jadi makin istimewa lagi karena menampilkan pula dua karya yang mengisi slot primetime alias malam hari mulai pukul 19.00 WIB.
Karya pertama adalah “Garda the Musical” karya Eko Supriyanto. Nama sosok yang satu ini melambung saat ditunjuk menjadi salah satu penari diva pop Madonna awal 2000-an.
Lalu karya istimewa berikutnya merupakan suguhan empat keraton turunan Kerajaan Mataram, yaitu Kasunanan Surakarta (Tari Bedhaya Duradasih), Kasultanan Yogyakarta (Tari Golek Jangkung Kuning), Pura Mangkunegaran (Fragmen Topeng Sekartaji), dan Pura Pakualam (Srimpi Gambirsawit).
Hari Tari Sedunia pertama kali dicetuskan International Theatre Institute (ITI) pada 1982. Pemilihan tanggal 29 April merujuk hari kelahiran Jean-Georges Noverre (29 April 1727 –19 Oktober 1810), seorang penari dan pencipta balet modern asal Prancis.
Peringatan ini bertujuan untuk merayakan keberagaman tarian yang ada di seluruh dunia, melintasi batas-batas politik, kultur dan etnis, serta menyatukan segala perbedaan manusia melalui tari sebagai bahasa yang sangat mudah dipahami.
Selain itu, melalui peringatan Hari Tari Sedunia diharapkan bisa membantu berbagai komunitas tari dalam mempromosikan karyanya dalam skala lebih besar.
Menurut Ketua Umum 24 Jam Menari ISI Surakarta Eko “Pece” Supriyanto, dikutip dalam radarsolo.com, sebenarnya ada banyak pihak yang ingin ambil bagian dalam ajang ini.
Lantaran keterbatasan waktu, pihaknya mau tak mau harus melakukan seleksi. Hasilnya menyisakan 99 grup sanggar maupun perorangan yang tampil dengan total 130 pertunjukan.
Mereka tampil mengisi sejumlah titik di lingkungan kampus ISI Surakarta, mulai dari halaman rektorat, pendopo Ageng GPH. Djoyokusumo, Teater Kecil, Teater Besar, dan Teater Kapal.
Sanggar Seni Kaktus mengusung tari tradisional
Pada tahun ini Sanggar Seni Kaktus, unit kegiatan mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tadulako (Untad), berkesempatan mengikuti WDD 24 Jam Menari di ISI Surakarta.
Wisnur Maulana selaku ketua umum Sanggar Seni Kaktus mengaku bahwa sebenarnya informasi terkait pelaksanaan WDD 24 Jam Menari di Solo telat mereka ketahui. Pun demikian, tak menghalangi niat untuk ikut serta.
Pasalnya ini salah satu ajang yang mereka rindukan. Oleh karena itu, pihaknya mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan semaksimal mungkin, mulai dari pemilihan jenis tari, penari yang ditunjuk sebagai wakil, hingga terkait keberangkatan.
“Persiapan tarian yang akan dibawakan kami dibantu oleh Komunitas Seni Lobo. Keberangkatan ke Solo juga sudah kami manage sedemikian rupa agar saat mereka di sana tidak ada yang missed,” ujar Wisnur saat dihubungi Tutura.Id (30/4/2023).
Menyesuaikan bujet dari dana proposal yang berhasil mereka kumpulkan, Sanggar Seni Kaktus mengutus Mohammad Rifaldi dan Dinda Novalina untuk membawakan tarian Mora’akeke ante Barakah. Kedua penari ini mengisi salah satu slot siang di panggung Teater Kecil.
“Tarian ini kami pilih tujuannya untuk memohon kelancaran pergelaran ini dan juga untuk merayakan tarian-tarian yang ada di Palu,” pungkas Wisnur.
Melansir BBC Indonesia, Mora’akeke adalah ritual meminta hujan kepada Yang Maha Kuasa. Praktiknya sudah berlangsung ratusan tahun silam di Kecamatan Sigi Biromaru.
Biasanya dipimpin seorang bayaha, laki-laki dengan dandanan seperti perempuan, yang menari mengelilingi pohon vunja diikuti dua perempuan paruh baya alias makatoko ka'ada.
Gerak tubuh mereka mengikuti irama tetabuhan gimba. Ketika salah satu makatoko ka'ada ada yang kemasukan roh hingga terjatuh, gimba pun berhenti ditabuh.
Hapri Ika Poigi, dosen di Untad yang juga pemerhati budaya Kaili, kepada Kompas.com mengatakan ritual ini biasanya dilaksanakan jika terjadi musim kemarau panjang, tanaman padi terserang hama, atau gagal panen.
Pelaksanaan Mora’akeke yang dilakukan oleh Suku Kaili Ija juga sekaligus mempererat kebersamaan warga di lima desa yang ada di Kecamatan Sigi Biromaru, yaitu Bora, Oloboju, Soulove, Sidera, dan Vatunonju.
View this post on Instagram
hari tari dunia word dance day tradisi kaili ija ISI Surakarta ritual adat Sigi Biromaru Sanggar Seni Kaktus Komunitas Seni Lobo