Dibandingkan Superman, Batman, dan Wonder Woman yang sangat populer hingga mendapat julukan “DC Trinity”, sosok The Flash sebenarnya tak kalah terkenal. Kostum, lambang, dan kekuatannya yang bisa melesat cepat juga sangat ikonis.
Serial The Flash yang dibintangi John Wesley Shipp pernah mengisi hari-hari anak yang tumbuh besar pada awal dekade 90-an. Stasiun televisi RCTI kala itu menayangkannya saban Selasa petang. Hasmi memungut pula inspirasi menciptakan komik Gundala Putra Petir dari sosok ini.
Wajar saja jika kemudian kehadiran film solo The Flash begitu dinantikan. Terlebih setelah mengalami revisi jadwal tayang berulang kali.
Awalnya diproyeksikan hadir 16 Maret 2018, kemudian mundur mengisi slot 3 Juni 2022. Lantaran masih khawatir dengan pandemi, rencana tadi dipindahkan jadi 4 November 2022.
Ketika akhirnya film ini mendapat kepastian tayang di jaringan bioskop XXI, termasuk di Kota Palu, tanpa pikir panjang saya langsung menyaksikannya saat hari pertama penayangan, Rabu (14/6/2023).
Plot menjelajahi multisemesta yang jadi tulang punggung skenario tulisan Christina Hodson sebenarnya bukan hal baru.
Mulai dari film animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse, serial WandaVision, hingga saga Spider-Man: No Way Home dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness juga mengusung tema serupa.
Bahkan sajian drama komedi Everywhere Everything All at Once yang meraih Piala Oscar sebagai film terbaik tahun ini juga menawarkan petualangan multiverse.
Pesan besar yang saya tangkap dari film ini adalah tentang keikhlasan, jangan pernah melihat ke belakang hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi, dan terus melangkah maju meniti masa depan.
Ini juga film tentang bagaimana seorang pria, atau seorang anak semata wayang, berperang melawan dirinya sendiri dari rasa bersalah. Kehadiran Bruce Wayne alias Batman yang punya masa lalu identik makin menebalkan pesan tersebut.
Penantian lebih dari tiga dekade
Walaupun bergelar “Speedster” alias pelari cepat, sesungguhnya mewujudkan proyek film solo The Flash berjalan sangat lambat. Memakan waktu lebih dari tiga dekade.
Nakhodanya telah berpindah-pindah dari satu sutradara ke sutradara yang lain. Begitu juga dengan penulis naskah dan pemeran utama.
Tokoh ciptaan Gardner Fox dan Harry Lampert yang muncul perdana lewat Flash Comics #1, edisi Januari 1940, pertama kali direncanakan bakal hadir di layar lebar menjelang akhir dasawarsa 80-an.
Melansir pemberitaan Variety hampir satu dekade lalu, Warner Bros. (WB) kala itu coba menunjuk Jeph Loeb untuk menulis skenario film The Flash.
Proyek tersebut kita tahu tak pernah terlaksana. Bahkan sepanjang dekade 90-an, Warner Bros. sepertinya cukup puas dengan pencapaian film-film adaptasi Batman arahan Tim Burton dan Joel Schumacher.
Memasuki awal milenium ketiga, tepatnya akhir 2004, barulah lampu hijau untuk melanjutkan proyek ini dinyalakan.
Beredar kabar bahwa WB telah menunjuk David S. Goyer sebagai sutradara, penulis naskah, dan produser film solo The Flash. Aktor Ryan Reynolds yang kini populer sebagai sosok di balik kostum Deadpool konon terpilih sebagai pemeran utama.
“Flash adalah karakter favorit saya. Kemampuannya bergerak melebihi kecepatan cahaya membuka banyak ide-ide sinematik dan cerita yang kaya,” ujar Goyer yang kala itu sudah terkenal sebagai penulis skenario film The Crow: City of Angels dan trilogi Blade.
Kerja sama ini bubar di tengah jalan lantaran pihak studio merasa tema film The Flash yang ditulis Goyer terlalu gelap. Mirip sajian Batman ala Christopher Nolan lewat The Dark Knight Trilogy. Sementara yang mereka inginkan adalah penggambaran sosok Barry Allen yang ceria dan humoris.
Sebagai penggantinya WB menunjuk Shawn Levy (sutradara Cheaper by the Dozen, The Pink Panther, dan Night at the Museum).
Lantaran tak kunjung mendapat kepastian produksi, Levy hengkang dan digantikan David Dobkin. Ia memilih aktor Adam Brody memerankan Barry Allen.
Formasi berubah lagi pada 2010 seiring penunjukan Greg Berlanti, Michael Green, dan Marc Guggenheim sebagai tim penulis. Rumor yang kencang beredar menyebutkan Berlanti menempati kursi sutradara.
Memasuki tahun 2016, saat Zack Snyder telah memegang kendali proyek DC Expanded Universe (DCUE), Ezra Miller terpilih memerankan Barry Allen alias Flash.
Seth Grahame-Smith disebutkan telah bernegosiasi dengan pihak WB mengisi jabatan sebagai penulis naskah dan sutradara.
Perbedaan kreativitas menggagalkan kerja sama tersebut. Lantas masuklah Rick Famuyiwa yang sebelumnya mengarahkan Dope (2015) sebagai pengganti. Proses syuting dijadwalkan berlangsung Januari 2017.
Belum sempat kesampaian, Famuyiwa juga menyatakan cabut. Duo John Francis Daley dan Jonathan Goldstein kemudian dikontrak menjadi pengganti.
Status ini tak bertahan lama. Juli 2019, keduanya menyatakan mundur dan digantikan Andy Muschietti.
Bersama Muschietti yang sebelumnya sukses menghadirkan teror badut dalam film It, kisah petualangan tunggal sang pelari tercepat di layar lebar akhirnya terwujud.
Dalam acara gala premiere film The Flash yang berlangsung di TCL Chinese Theatre, Hollywood, AS (12/6/2023), semua pemain utama memujikan betapa sineas asal Argentina itu sosok yang pas mengarahkan film ini.
Pengalaman menjadi storyboard artist jadi salah satu alasan mengapa The Flash bisa jadi tontonan menyenangkan bagi para penggemar komik DC.
Kostum yang dipilihnya untuk Flash lebih mendekati penggambaran dalam komik dibandingkan versi Zack Snyder.
Presentasi akting Ezra Miller
Penafian; bagian tulisan ini mengandung bocoran cerita alias spoiler yang bagi sebagian orang mungkin mengganggu kenyamanan menonton.
Film The Flash punya catatan durasi hingga 144 menit. Ada beberapa minor, terutama menyangkut penerapan efek CGI yang entah mengapa dalam beberapa adegan terlihat masih sangat artifisial, tapi semua itu tak mengurangi kadar keseruan menyaksikan film ini.
Transformasi perkembangan karakter Barry Allen sejak adegan pertama hingga penutup yang diwarnai adegan humor, aksi, dan drama tersaji dengan porsi seimbang. Ini yang bikin perasaan simpati ikut bertumbuh.
Keseruan lainnya sudah tentu barisan cameo yang muncul dalam film ini. Seketika membangkitkan kenangan masa kecil. Bukan hanya bagi para penggemar Flash, tapi juga beberapa karakter utama komik DC dipastikan terlarut dalam kenangan.
Seolah belum cukup dengan menampilkan Batman versi Michael Keaton yang sangat ikonis di era 90-an, Andy Muschietti menambahkan kadar nostalgia itu hingga mencapai titik porsi maksimal.
Dalam sebuah adegan di Chronobowl, semacam Cosmic Treadmill dalam versi komik yang digunakan Flash melintasi ruang waktu, muncul wajah para pemeran tokoh pahlawan super DC sejak zaman baheula, mulai dari George Reeves, Adam West, Christopher Reeve, Helen Slater, dan John Wesley Shipp.
Bahkan sosok Nicholas Cage yang mengenakan kostum Superman ikut ditampilkan sungguhpun proyek film tersebut aslinya urung terlaksana.
Walaupun berdurasi singkat, kepingan nostalgia tadi bikin saya bersorak kegirangan di dalam bioskop.
Apakah cukup? Tunggu hingga bagian akhir film. Ada kemunculan satu sosok lagi yang bikin saya histeris lebih kencang dari sebelumnya.
Tokohnya banyak, bahkan masing-masing sukses mencuri perhatian, tapi fokus tetap bertumpu pada perkembangan karakter Barry Allen.
Christina Hodson sebagai penulis naskah patut mendapat acungan jempol. Ia tahu kapan harus menghadirkan dialog-dialog lucu yang mendukung atau setidaknya berkesesuain dengan adegan.
Jadinya sosok Barry Allen yang ekspresif, egois, dan culun bisa tersampaikan dengan wajar.
Mungkin ini film DCEU dengan unsur naratif paling kuat. Konsep multiverse tidak semata jadi pilihan untuk meluaskan petualangan, atau memperpanjang napas franchise film superhero laiknya sajian MCU.
Ada motivasi kuat yang melatari alasan Barry kembali ke masa lalu. Sesuatu yang sangat personal.
Tambah lagi kualitas akting Ezra Miller ternyata bisa memenuhi ekspektasi fans yang mendamba sosok komikal Barry Allen aka The Flash. Jauh berbeda dengan pembawaan Grant Gustin sebagai Flash dalam versi serial yang berjalan sembilan musim.
Barbara Muschietti yang mendampingi adiknya dari bangku produser juga menyebut Miller sebagai aktor yang sangat berdedikasi. “Ezra memberikan segalanya untuk peran ini, mulai dari segi fisik, kreatif, dan emosional. Ia benar-benar hebat.”
Pasalnya Ezra Miller dalam film ini tak hanya memerankan satu, tapi dua orang Barry Allen sekaligus.
Satu sisi ia bisa dengan gampang memancing gelak tawa lewat tingkah konyol, bikin jantung berdegup lebih kencang saat melakoni adegan aksi, tapi kali lain bisa dengan cepat membuat emosi penonton larut merasakan kegetiran hidup.
Tanpa saya duga, ternyata Miller punya daya jelajah emosi yang lebar sebagai navigator utama dalam cerita. Presentasi aktingnya jadi semacam pengait emosional.
Wajar jika kemudian Andy Muschietti dalam sebuah wawancaranya melayangkan pujian. “Saya tidak berpikir ada orang yang bisa memainkan karakter ini sebaik Miller,” ujar Muschietti.
film box office pahlawan super komik DC Comics Marvel MCU DCEU superhero franchise Warner Bros. The Flash Batman Supergirl Superman Gundala