
Khazanah tradisi bangsa ini tak terhitung jumlahnya. Tiap suku atau kelompok etnik tertentu memiliki ciri khas berbeda-beda yang diwariskan secara turun-temurun.
Perbedaan lingkungan berupa letak geografis memengaruhi kebiasaan pola hidup masyarakat di negara multikultural ini.
Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa. Lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah tanah air.
Suku Tialo yang mendiami Teluk Tomini, misalnya, punya beragam acara ritual tradisi yang kental dipengaruhi faktor lingkungan.
Teluk yang luas perairannya sekitar 137.700 kilometer persegi dengan garis pantai sepanjang ± 1.350 kilometer ini menyimpan sumber daya ikan melimpah, terumbu karang endemik, dan hamparan mangrove di pesisir laut.
Salah satu ritual Suku Tialo adalah mo ma'ane. Sebuah ritual adat yang hadir sebagai bentuk rasa syukur pada alam atas meruahnya hasil panen kebun dan melaut.
Menurut Sodrin (66), salah satu pemangku adat Suku Tialo, prosesi adat mo ma'ane memakan waktu selama tiga hari. Lokasinya berlangsung di hulu sungai dan berakhir di pesisir pantai.
Walaupun segala benda dan makanan yang digunakan dalam ritual beranekaragam, intinya tetap bermuara pada sebuah simbol penuh makna.
Contohnya berbagai jenis makanan yang disediakan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen kebun. Ada telur burung Maleo, ubi-ubian, pisang, beras ketan merah, pulut hitam, dan pulut putih.
Masing-masing dibuat menjadi tujuh bagian yang maknanya menjurus pada sifat manusia.
“Kita manusia memiliki tujuh sifat yang terdapat dalam tubuh, seperti yang terdapat pada mata, mulut, hidung dan telinga,” tutur Sodrin saat ditemui di kediamannya di Paninggo, Desa Taopa Utara, Selasa (5/4/2023).

Secara pengertian ma'ane berarti makan. Jika digabung, mo ma’ane artinya memberi makan.
Namun, tradisi yang bermula dengan pembacaan mantra gane-gane (doa) dekat hulu sungai ini kian tak terlihat lagi sekarang. Tergerus oleh roda zaman laiknya sejumlah upacara atau ritual tradisi lainnya. Biasanya tradisi ini dilaksanakan bersamaan dengan perayaan hari ulang tahun desa saban tahun.
Leo Chandra, salah satu pegiat lingkungan yang tergabung Kolompok Pencinta Alam (KPA) "Tialo Adventure", mengungkap tradisi mo ma'ane tidak dilaksanakan lagi sejak tiga tahun lalu.
“Sekitar tiga tahun lalu terakhir saya saksikan. Waktu pelepasan perahu di Pantai Pasir Putih Tuladengi,” ungkapnya kepada Tutura.Id.
Faktor yang membuat pelaksanaan ritual adat ini makin ditinggalkan, menurut Sodrin, karena ketersediaan anggaran dan—bagian paling rumitnya—dianggap bertentangan dengan prinsip agama Islam.
“Menurut sebagian orang (mo ma’ane) mengarah ke syirik, tapi menurut saya pelaksanaan tidak ada seperti itu. Tidak ada penyembahan di dalamnya. Kita hanya menghargai alam atas apa yang diberi,” tepis Sodrin menanggapi suara sumbang dari orang yang menentang.
Dahulu orang-orang Suku Tialo percaya jika melaksanakan ritual mo ma'ane sebagai wujud terima kasih atas panen yang melimpah, maka alam akan memberi lebih banyak lagi pada masa panen berikutnya.
“Orang bilang sampe ba busuk buah-buahan lantaran banyaknya hasil panen,” lanjut Leo yang juga ketua Karang Taruna Kecamatan Taopa.
Usaha pelestarian mo ma’ane tambah sulit lantaran ketiadaan generasi penerus yang tertarik memahami tata cara tradisi ini. Sodrin jadi satu-satunya pemangku adat yang tersisa setelah beberapa tetua telah wafat.
Selama hampir dua dekade menjadi pemangku adat, Sodrin mengaku hampir patah semangat. Namun, ia kembali menemukan harapan saat Dinas Pariwisata mendukung pelaksanaan adat untuk mendorong kemajuan sektor pariwisata di Kecamatan Taopa.
“Tanpa berharap anggaran dari pemerintah, mo ma’ane sebenarnya tetap bisa kita bikin. Karena mematikan tradisi ini sama saja mematikan tradisi kuatnya sifat gotong royong kita orang Tialo sejak dulu,” pungkasnya.
tradisi ritual adat-istiadat budaya mo ma'ane Suku Tialo Teluk Tomini pesta panen dinas pariwisata


