Pada pemaparan policy brief dalam kegiatan “Diseminasi Hasil Penelitian tentang Social and Solidarity Economy Organizations and Enterprises di Kota Palu”, Selasa (19/9/2023), Usaha Mikro dan Kecil (UMK) disarankan mengasup konsep konsep Ekonomi Solidaritas Sosial atau Social Solidarity Economy (SSE).
Saran itu dikemukan setelah hasil penelitian dan temuan lapangan mengungkap bahwa UMK di Sulawesi Tengah, khususnya di Kota Palu, masih memiliki karakter informal dalam pelaksanaan.
Dalam kegiatan kolaborasi Yayasan Sikola Mombine dan Sasakawa Peace Foundation ditemukan beberapa usaha tidak memiliki badan hukum, minim literasi keuangan dan digital, sehingga dijalankan dengan modal terbatas, keahlian yang terbatas, juga penggunaan teknologi yang masih sederhana.
Belum lagi, ditemukan isu kurangnya pendampingan oleh pemerintah. Sehingga program yang dilaksanakan sering kali terkesan berulang dan tidak memiliki keberlanjutan yang baik.
Hal ini kemudian menjadi alasan mengapa UMK dianggap penting mengadopsi konsep Ekonomi Solidaritas Sosial untuk membantu pertumbuhan kewirausahaan dan ekonomi berbasis komunitas, bukan individu.
Mengenal SSE
Dijelaskan bahwa pada dasarnya Social and Solidarity Economy (SSE) merupakan sebuah kegiatan ekonomi yang bertumbuh untuk masyarakat.
Prioritas utama dari kegiatan ekonomi ini adalah bagaimana dampak yang dihasilkan di lingkungan dan sosial, bukan pada bagaimana besaran finansial yang kemudian dihasilkan.
Salah satu tujuan dari SSE adalah mendorong pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah terhadap kaum perempuan dan disabilitas dalam kegiatan ekonomi dan kewirausahaan, termasuk melalui program UMK.
Inklusi atau ketercakupan perempuan dan kelompok minoritas, seperti kaum disabilitas, pada kenyataannya masih sering menghadapi kendala dalam kegiatan ekonomi. Apalagi diperparah dengan faktor eksternal semisal bencana alam.
Pada 2018 silam, bencana gempa dahsyat telah melumpuhkan sebagian besar aktivitas yang ada di Palu, Sigi, dan Donggala.
Dalam publikasi berjudul "Gender and Inclusion Alert: Central Sulawesi Earthquake and Tsunami" yang diterbitkan United Nation for Women, disebutkan bahwa bencana ini berdampak terhadap 352.000 perempuan, 60.000 kepala keluarga dimana 3.000 di antaranya adalah kepala keluarga perempuan, dan 1.771 penyandang disabilitas.
Sementara, data di lapangan menunjukan 49-55% pelaku usaha dalam UMK sebesar 49-55%. Data dari program pemberdayaan 642 pelaku UMK oleh Sikola Mombine menunjukkan bahwa 20-30% pelaku usaha berasal dari kaum disabilitas.
Data tersebut menunjukkan potensi yang dihasilkan oleh pelaku usaha perempuan dan disabilitas, cukup besar perannya dalam perkembangan ekonomi di Kota Palu.
Butuh program nyata
Ketua Penelitian dari Sasakawa Peace Foundation, Dissa Syakina Ahdanisa, menjelaskan dalam proses penelitian ini ditemukan pemerintah Kota Palu melalui dinas terkait, telah memiliki program-program yang menaungi pemberdayaan terhadap perempuan dan kaum minoritas serta rentan. Namun, masih memerlukan koordinasi dan kolaborasi yang kuat.
“Kolaborasi dan koordinasi itu masih harus ditingkatkan, sehingga programnya berkelanjutan bukan berhenti satu atau dua kali saja,” tegasnya.
Ia menambahkan perlu adanya literasi digital yang memadai untuk menjalankan program dan hal ini penting. Pihaknya menemukan bahwa literasi digital telah disosialisasikan oleh Pemerintah Kota Palu, tapi ditemukan keluhan bahwa hanya sekadar program tanpa ada keberlanjutan.
Padahal melek terhadap digital, juga merupakan satu jembatan untuk menyukseskan kegiatan ekonomi dan kewirausahaan dalam bidang pemasaran.
“Tidak perlu teknologi canggih yang diajarkan, cukup ajarkan mereka menggunakan sosial media seperti Facebook untuk pemasaran produk mereka, itu sudah cukup. Karena penggunaan teknologi juga harus sesuai kebutuhan,” jelasnya.
Adapun catatan krusial lainnya, yakni pelaku UMK cenderung memiliki charity mindset. Artinya, pelaku usaha menjadi ketergantungan terhadap bantuan-bantuan yang diberikan. Sehingga belum bisa mengolah dengan benar bantuan yang diberikan dan belum bisa mendapatkan modal dengan usahanya sendiri.
“Bukan hal mudah jika kita terjebak dalam pola pikir tersebut. Namun, tentunya dengan melalui program SSE kami akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dan mengandalkan potensi lokal yang ada di sekitar mereka,” ungkap Ayaka Matsuno selaku Direktur Gender Investment and Innovation Program Sasakawa Peace Foundation SSE.
Ayaka lantas mengemukakan bahwa sangat penting untuk menciptakan ketangguhan komunitas, dalam proses pembangunan kembali Kota Palu pasca bencana. Utamanya, bagaimana melakukan inovasi sosial dengan memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia.
Apalagi Kota Palu sendiri memiliki beberapa program-program pembangunan yang sejalan dengan nilai-nilai dasar dari SSE. Seperti pengentasan kemiskinan, perlindungan sosial bagi kaum minoritas dan rentan, sehingga terjadinya perkembangan ekonomi di lingkup lokal yang inklusif dan adil sejalan dengan program Kota Palu menuju smart city.