Syahdan, 28 tahun silam, Menteri Dalam Negeri Yogi S. Memet meresmikan status wilayah Kota Palu dari kota administratif menjadi kota madya sekaligus melantik Rully Azis Lamadjido sebagai Wali Kota Palu ketiga. Peresmian itu merujuk Undang-Undang (UU) 4/1994 tentang Pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Palu.
Palu sebelumnya, sejak 1 Juli 1978 sampai dengan 11 Oktober 1994, masih sebatas kota administratif. Perbedaan paling menonjol antara kotif dan kodya terletak pada bentuknya yang otonom.
Kala berstatus kotif, sebuah daerah belum memiliki lembaga bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Pun wali kota administratif sebagai kepala daerah masih bertanggung jawab kepada bupati kabupaten induknya.
Artinya, selama 16 tahun, Palu belum bersifat otonom. Tak punya institusi legislatif dan masih bergantung kepada daerah induk yakni Kabupaten Donggala.
Selama berstatus kotif maupun kodya, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah ini terus mengalami perkembangan, baik secara sosial, ekonomi, infrastruktur, hingga wilayah administrasi pemerintahan.
Sekadar informasi, tulisan ini bermaksud mengulas peningkatan wilayah pemerintahan Kota Palu sejak masih berbentuk kerajaan hingga saat ini.
Berstatus Kerajaan Palu
Jauh sebelum Kota Palu menjadi pusat pemerintahan Sulteng seperti sekarang, dahulu kala daerah yang berada di kawasan Teluk Palu ini pernah jadi salah satu wilayah berpengaruh di Pulau Sulawesi.
Dalam jurnal penelitian yang ditulis Ismail Syawal berjudul “Syekh Abdullah Raqi: Orang Minangkabau Penyebar Islam di Palu pada Abad XVII”, disebutkan jika pada masa lampau wilayah lembah dan Teluk Palu dikenal dengan beragam nama, seperti Caile, Kylie, Kajeli, Cajeli, dan Palosbaai.
Sementara dalam catatan perjalanan David Woodard selama 1792-1795, Palu dikenal dengan nama Parlow dan Teluk Palu dapat sebutan Uncaila Tribe.
Istilah-istilah itu merujuk bunyi penyebutan oleh penduduk setempat alias orang Kaili yang mendiami Lembah Palu.
Masih dalam tulisan Ismail, juga disebutkan bahwa daerah tempat bermukim Suku Kaili mencakup 23 negeri, antara lain Cajeli, Lero, Laboang, Wanni, Baja, Badi, Kaymolove, Rano, Taipa, Batotela, Dolo, Mambora, Bizemaroe, Walantowe, Sidondo, Prigi, Sigi, Plolo, Tonde-Biro, Bolo-Auw, Pakkoeli, dan Lindoe.
Lima negeri terletak di wilayah pegunungan, sedangkan lainnya berada di kawasan pesisir.
Ismail yang menyitir laporan perjalanan seorang serdadu VOC bernama Valentijn (1856) mengatakan, wilayah Palu terdiri atas Taboelanga, Tagari, Tendame, Boya, Tatanga, Bongi, Laswangi, dan Poeloe.
Lambat laun, sejumlah penguasa kampung di sekitar lembah dan Teluk Palu kemudian membentuk persekutuan yang dikenal dengan Dewan Adat Patanggota.
Dewan adat ini merupakan kesatuan empat kampung yang terdiri dari Besusu, Tanggabanggo, Panggovia, dan Boyantongo.
Dewan Adat Patanggota bertugas memilih raja dan para pembantu raja di Kerajaan Palu saat itu. Pue Nggari alias Siralangi kemudian tercatat sebagai raja Kerajaan Palu pertama antara tahun 1796-1805.
Dewan adat dan Kerajaan Palu inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Kota Palu sekarang.
Melewati pendudukan Belanda dan Jepang
Setelah memerintah selama sembilan tahun, Pue Nggari secara berturut-turut digantikan oleh 10 raja lainnya hingga tahun 1960. Artinya, Kerajaan Palu eksis selama 164 tahun.
Selama periode itu, Kerajaan Palu banyak bersinggungan dengan kerajaan lokal lainnya dan Pemerintah Hindia Belanda, sebuah pemerintahan kolonial di tanah air bentukan Kerajaan Belanda.
Dalam naskah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) berjudul “Citra Kota Palu Dalam Arsip (2015)”, perjumpaan Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Palu terjadi di masa pemerintahan Raja Maili (Mangge Risa) pada tahun 1888. Tetapi, raja ketujuh Palu itu terbunuh dalam pertempuran menghadapi bala tentara Pemerintah Hindia Belanda di Kayumalue.
Kemudian Raja Jodjokodi, pengganti Raja Maili, melakukan perjanjian pendek (korte verklring) dengan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Mei 1888. Dalam hal ini, Kerajaan Palu dan delapan kerajaan lain di Lembah Palu menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Antara tahun 1863-1908, sembilan kerajaan ini dirampas otonominya lewat traktat pendek (korte verklring) dan traktat panjang (lange contract) oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Merujuk tulisan Lukman Nadjamuddin “Donggala: From Imperalism To The Regency Establishment”, pada 18 Agustus 1924, Dirk Fock yang ditunjuk sebagai gubernur jenderal ke-62 Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan yang membagi Sulawesi menjadi dua residentie alias karesidenan.
Karesidenan Sulawesi dan bawahannya beribukota di Makassar serta Karesidenan Manado. Karesidenan di masa sekarang setara daerah administrasi pemerintah provinsi.
Karesidenan Manado meliputi lima afdeeling atau kabupaten. Lima kabupaten (afdeling) ini antara lain Manado, Gorontalo, Donggala, Poso, dan Kepulauan Sangihe Talaud.
Afdeling Donggala terbagi lagi menjadi empat onderafdeling (kawedanan/kepatihan/kecamatan), yaitu Donggala, Palu, Parigi, dan Tolitoli.
Onderafdeling Palu mencakup mulai dari distrik Palu Timur, Palu Tengah, Palu Barat, serta lanskap Kulawi dan Sigi-Dolo.
Pada masa Perang Dunia Kedua, terjadi transisi kekuasaan dari Pemerintah Kolonial Belanda ke pihak Jepang. Akibat pertempuran pasukan Sekutu dengan Jepang, ibu kota Afdeling Donggala hancur. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Palu pada tahun 1950.
Periode 1945-2012
Setelah pihak Jepang dipaksa menyerah oleh kelompok Sekutu pada tahun 1945, wilayah pemerintahan bentukan kolonial Belanda di Sulawesi juga mengalami pemekaran termasuk pergantian kepemimpinan.
Pada tahun 1957 semasa kepemimpinan Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani, pemerintah pusat menetapkan Palu sebagai ibu kota karesidenan Residen Koordinator Sulawesi Tengah.
Tiga tahun berselang, Raja Tjatjo Idjazah yang menjadi raja terakhir Palu memilih bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersama Kerajaan Sigi-Dolo dan Kerajaan Kulawi.
Peristiwa bersejarah pada 6 Mei 1950 ini sebagai reaksi penolakan Negara Indonesia Timur (NIT), sekaligus menandai akhir sistem monarki di Lembah Palu.
Meski telah keluar dari dua kali pendudukan dan bergabung menjadi bagian dari wilayah Indonesia, bahkan ditetapkan sebagai pusat pemerintahan, Palu tak lantas didaulat menjadi daerah otonom dengan pemerintah sendiri.
Hingga 30 Juni 1978, Palu masih berada dalam wilayah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala sebelum akhirnya diresmikan menjadi Kota Administratif Palu sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 18/1978.
Dalam keputusan bertarikh 1 Juli 1978 ini, wilayah Kota Administratif Palu terdiri atas dua kecamatan dan 28 kampung.
Kecamatan Palu Barat mencakup 17 kampung, antara lain Watusampu, Buluri, Tipo, Kabonena, Silae, Lere (Panggovia), Baru (Boyantongo), Ujuna, Kamonji (Tanggabanggo/Siranindi), Nunu, Boyaoge, Tavanjuka, Palupi, Pengawu, Duyu, Balaroa, dan Donggala Kodi.
Lalu, Kecamatan Palu Timur meliputi 11 kampung, seperti Tondo, Kalantaro, Tanamondindi, Lasoani (Laswangi), Poboya, Kawatuna, Lolu, Tatura, Birobuli, Petobo, dan Pandapa dengan ibu kota di Birobuli.
Selama 16 tahun berstatus Kota Administratif Palu, sekaligus menjadi pusat pemerintahan Sulteng dan daerah tingkat II (dati II) Donggala, Palu mengalami perkembangan begitu pesat sehingga dinaikkan statusnya menjadi Kota Madya Daerah Tingkat II (Kodya Tkt.II) Palu.
Dalam keputusan itu juga, wilayah Kodya II Palu bertambah delapan desa dan dimekarkan menjadi empat kecamatan, termasuk wilayah semasa berstatus kota administratif. Delapan desa itu ialah Mamboro, Taipa, Kayumalue Ngapa, Kayumalue Pajeko, Panau, Lambara, Baiya, dan Pantoloan.
Sedangkan empat kecamatan yang dimaksudkan meliputi Palu Timur yang berkedudukan di Kelurahan Besusu, Palu Barat yang berkedudukan di Kelurahan Lere, Palu Selatan berkedudukan di Kelurahan Birobuli, serta Palu Utara yang berkedudukan di Desa Lambara.
Melansir situsweb Pemerintah Kota Palu, antara tahun 1994-1998, Kecamatan Palu Timur mengalami sejumlah pemekaran kelurahan.
Kecamatan Palu Timur kemudian mencakup lima kelurahan seperti Besusu, Talise, Tondo, Poboya, dan Lasoani dengan kedudukan di Kelurahan Besusu.
Kelurahan Besusu lalu dimekarkan menjadi Besusu Timur, Besusu Barat, dan Besusu Tengah. Sementara Kelurahan Tondo dimekarkan menjadi Kelurahan Tondo dan Kelurahan Layana Indah.
Ada pula pemekaran Kelurahan Birobuli menjadi Birobuli Utara dan Birobuli Selatan; Kelurahan Tatura menjadi Tatura Utara dan Tatura Selatan; Kelurahan Lolu menjadi Lolu Utara dan Lolu Selatan; Kelurahan Pantoloan menjadi Pantoloan dan Pantoloan Boya; serta Kelurahan Mamboro menjadi Mamboro dan Mamboro Barat.
Pada 18 April 2012, Rusdy Mastura yang kala itu menjabat wali kota Palu secara resmi menandatangani Peraturan Daerah (Perda) Kota Palu 4/2012 tentang Pembentukan Kecamatan Ulujudi, Kecamatan Tatanga, Kecamatan Tawaeli, dan Kecamatan Mantikulore.
Kecamatan Ulujudi sekarang ini mencakup separuh wilayah Palu Barat sebelumnya; Kecamatan Tatanga mengambil sebagian wilayah Palu Timur dan Palu Selatan sebelumnya; Kecamatan Mantikulore saat ini ialah sebagian wilayah Palu Timur; dan wilayah Palu Utara sebelumnya yang jadi wilayah Kecamatan Tawaeli sekarang.
Batal mekar hingga wacana tukar aset dengan wilayah
Selama 45 tahun umur Kota Palu merujuk versi Pemkot Palu, selain 48 kelurahan definitif saat ini, pernah ada upaya memekarkan dua kelurahan menjadi dua kelurahan baru.
Upaya pertama dilakukan oleh Pemkot Palu pada tahun 2014. Rencananya, Kelurahan Talise akan dimekarkan menjadi Talise dan Talise Timur. Hanya saja, karena terjadi perbedaan data luasan wilayah yang akan dimekarkan antara data digital Pemkot Palu dan naskah akademik sehingga rencana pemekaran ini ditunda dan tak ada lagi pembahasan lanjutan sampai sekarang.
Dua tahun berselang, muncul wacana pemekaran Desa Vatutela dari daerah induk yakni Kelurahan Tondo.
Meski telah membentuk Tim Pemekaran Kelurahan Vatutela pada tahun 2018 dan telah melakukan tugasnya, akhirnya DPRD Palu menolak pembentukan dua kelurahan yakni Vatutela dan Karampe karena tak cukup syarat dokumen pembentukan kelurahan.
Bahkan pernah ada wacana dari Bupati Donggala Kasman Lassa untuk menukar aset Pemkab Donggala di Palu dengan dua kelurahan. Bupati Kasman bersedia menyerahkan aset milik Pemkab Donggala dengan syarat Kelurahan Buluri dan Watusampu menjadi wilayah Kabupaten Donggala.
Namun, pada akhirnya empat aset Pemkab Donggala di Palu tetap diserahkan kepada Pemkot Palu pada 8 Juni 2021 tanpa menukar dua wilayah di sebelah barat yang berbatasan dengan Kabupaten Donggala itu.
kota palu kerajaan onderafdeling admininistratif madya distrik kecamatan wilayah kelurahan