Matahari siang bersinar nan terik. Panasnya menyengat kulit dan menimbulkan rasa pedih bila berlama-lama terkena paparannya.
Tapi rasa penasaran yang besar seakan menjadi penyemangat untuk sampai ke titik tujuan. Ya, pada Selasa (29/8/2023), Tutura.Id berkesempatan melakukan perjalanan sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Palu menuju arah utara.
Kala itu, Lala menjadi penunjuk jalan. Mahasiswa jurusan Sejarah Perdaban Islam UIN Datokarama Palu ini memandu perjalanan ziarah kami ke makam seorang tokoh besar penyebar Islam di Kerajaan Tavaili. Daerah yang sekarang menjadi Kecamatan Tawaeli.
Dia secara khusus meneliti Pue Bulangisi, seorang mubalig asal Mandar—salah satu kelompok etnis terbesar di Sulawesi Barat—yang berjasa menyebarkan Islam pertama di wilayah Teluk Palu bagian utara ini.
Setibanya di Kelurahan Lambara, kami harus memasuki lorong sejauh 200 meter dari Jalan Trans Sulawesi Palu-Pantoloan. Makam ini terletak di area permukiman warga.
Bila sedikit lihai menandai, lokasi makam ini berada di belakang bioskop lama Tawaeli yang populer di tahun 1990-an.
Pemandangan memilukan menyambut kami ketika sampai di lokasi makam. Bekas jalan setapak sebagai jalur menuju makam hampir tak terlihat. Rumput liar dengan subur menjalar menutupi hampir sepanjang jalur perjalanan.
Pun halnya dengan bangunan utama makam. Terlihat terbengkalai alias tidak terawat. Seolah terlupakan. Sepintas, tidak ada tanda bahwa makam tersebut tempat bersemayamnya tokoh yang punya banyak jasa besar.
Bila dilihat saksama, ada banyak bercak tanah di atas lantai makam yang berbahan keramik berwarna biru. Sementara bekas gigitan rayap memenuhi sela-sela penyangga kayu.
"Ini masih mending. Bulan Maret lalu saya ke sini banyak pohon dan rumput meninggi di sini," tutur Lala pelan.
Dia pun mengingat pada awal-awal kunjungannya ke makam. Lala menyebut dia hampir tersesat karena tidak ada penanda atau papan keterangan yang menginformasikan bahwa bangunan itu adalah makam Pue Bulangisi.
Beruntung ada satu orang tua menegurnya. Lala pun diarahkan menuju lokasi makam yang telah dipenuhi rimbunan pohon dan tumbuhan merambat. Kala itu, Lala mengaku hendak melakukan penelitian untuk studinya.
Menemukan makam Pue Bulangisi dengan kondisi begitu, Lala lantas berinisiatif membersihkannya. Selepas Ramadan, Mei 2023, Lala bersama teman-temannya di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Datokarama Palu, melakukan kerja bakti.
Rumput-rumput dan tanaman rambat yang meninggi ditebas. Lantai pagar dan pembatas makam mereka bersihkan. Dengan begitu, kata Lala, besar harapan mereka agar masayarakat sekitar dan juga pemerintah bisa ikut tergerak memeliharanya.
Lalu apa tanggapan warga sekitar? Badriah (70) yang tinggal hanya beberapa meter menyebut makam Pue Bulangisi itu dikenal keramat.
Badriah lantas membagi pengalaman mistis yang dialaminya kepada kami. Pernah saat membersihkan kebun di halaman rumahnya, dia mencium harum semerbak aroma melati di sekitar makam. Padahal kala itu siang bolong dan tidak ada tanaman melati yang tumbuh.
"Dulu saya tidak percaya yang begitu, tapi setelah kejadian itu saya percaya memang ini kuburannya orang keramat," jelas Badriah dengan semangat.
Menurut Badriah, seharusnya makam orang keramat seperti itu dirawat atau minimal memiliki papan tanda pengenal. Sebab, beberapa kali memang ia mendapati orang seperti Lala kesusahan mencari titik lokasi makam.
Satu era dengan Datokarama
Dalam buku Sejarah Islam di Lembah Palu (2016) karya Haliadi Sadi – Dr. Syamsuri, disebutkan Pue Bulangisi sebagai salah satu ulama penyebar Islam pertama di Lembah Palu.
Pria bernama Daeng Konda ini datang ke Lembah Palu pada abad ke-17. Diduga kuat masih satu era dengan Datokarama alias Abdullah Raqie yang berlabuh di Karampe lalu berdakwah di daerah sekitarnya.
Daeng Konda atau Pue Bulangisi adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Sendana, Mandar. Dia berlayar dan mendarat di Kerajaan Tavaili.
Di tempat ini, Pue Bulangisi berdakwah dan mendapatkan gelar dari warga setempat. Pue Bulangisi berarti “Tuan Bergigi Putih” karena Daeng Konda tidak mengunyah sirih. Layaknya kebiasaan di sana.
Sepak terjang murid Syekh Yusuf (1626-1699) ini dalam menyebarkan Islam di Kerajaan Tavaili dimulai dengan mengislamkan Daesalembah, seorang Magau III. Raja ini pun dikenal sebagai Raja Tavaili pertama yang memeluk Islam.
Strategi ini dilakukan demi memuluskan dakwah secara menyeluruh. Pasalnya, apabila raja resmi memeluk agama Islam, maka Islam dijadikan sebagai agama kerajaan. Olehnya itu, para mubalig punya kebebasan untuk menyiarkan Islam di kalangan masyarakat luas.
Setelah Magau III memeluk agama Islam, Pue Bulangisi bisa dengan mudah mengajarkannya kepada masyarakat Tawaeli. Dia juga mengajarkan murid-muridnya salat dan membaca Al-Qur'an.
Selain itu, Pue Bulangisi mendirikan tempat ibadah atau musalah yang disebut Langga. Di Langga ini Bulangisi mengajar murid-muridnya praktik ibadah sesuai syariat.
Atas jasanya Pue Bulangisi kemudian dihormati dan dianggap orang keramat. Olehnya, Pue Bulangisi disebut Darmawan Mas’ud sebagai "Dato Karama dari Mandar". Sepak terjangnya juga diabadikan dalam Hikayat Bulangisi.
Pue Bulangisi Daeng Konda mubalig sejarah Islam Mandar Kerjaan Tavaili Tawaeli Kota Palu