Sudah enam puluh lima waktu
Aku berjalan… dan terus berjalan
Malam makin larut
Tapi aku tak mau larut
Demikian sepenggal bait puisi karya penyair terkemuka Tjatjo Tuan Saichu. Orang-orang di Kota Palu mengenalnya dengan panggilan TS. Atjat atau Abah Tjatjo.
Bait-bait tersebut hadir dalam kumpulan puisi “Catatan Seorang Pejalan Kaki” yang diterbitkan Komite Sastra Dewan Kesenian Palu pada tahun 2010.
Sejatinya, TS. Atjat telah menghasilkan ratusan puisi-puisi, naskah drama, hingga cerpen yang ditulis menggunakan Bahasa Indonesia hingga Kaili.
Beberapa puisinya diterbitkan dalam antologi Lelerai (1997), Kumpulan Puisi Corat-Coret di Tembok, dan Antologi Puisi Suara Jiwa (2004). Sementara karya sastra berbahasa Kaili berupa Penembulu (2006), Soyo Lei, dan Vaino.
Hingga usianya yang menginjak 74 tahun, TS. Atjat masih menulis. Dia mengabadikannya melalui tulis tangannya di lembaran-lembaran kertas.
Pernah Ketua Umum Dewan Kesenian Palu Dr. Ir. Nirwan Sahiri menaruh komentar dalam kata pengantar pada buku “Catatan Seorang Pejalan Kaki”.
Dia menyebut pentingnya keberadaan karya-karya sastra TS. Atjat. Sebabnya mengingat khazanah pustaka daerah di Sulteng yang saat ini masih kurang dan masih sedikit dipublikasikan.
Pembuat film dokumenter asal Kabupaten Sigi, Dinul Yakin, mengaku baru mengetahui adanya karya satra berupa kumpulan pantun berbahasa Kaili “Vaino” dari kawannya. Yang mengejutkannya adalah sosok penyair itu bermukim di Kabupaten Sigi, kampung halamannya.
Dinul kemudian mulai mencari karya-karya TS. Atjat yang lain, seperti Soyo Lei, melalui seniman kenalannya. Sayangnya, buku tersebut telah lenyap dilalap api lantaran rumah kawannya itu terbakar.
Usaha lain dilakukan Dinul dengan mencari salinannya. Nemu Buku, perpustakaan alternatif yang biasanya menampung karya-karya penulis Sulteng, menjadi tujuan Dinul selanjutnya. Hasilnya juga nihil. Diduga buku yang dicari telah tercecer.
Serangkaian perjalanannya mencari karya-karya TS. Atjat inilah yang menjadi cerita dalam film dokumenter yang disutradarainya. Judulnya Manuskrip Lelaki Tua. Film ini digarapnya bersama Tim Bioskop Todea berdurasi 40 menit.
Giat penyelamatan karya sastra ini pula yang menjadi perhatian komunitas sastra seperti Komunitas Seni Lobo (KSL) saat menggelar Festival Sastra Notutura.
Pengenalan tokoh dan karya sastranya
Iin Ainar Lawide selaku Program Manager KSL pernah mengungkapkan, penyelenggaraan festival ini diharapkan bisa mendorong para tokoh dan karya sastra bisa dikenal luas oleh generasi muda di daerah sendiri. Sebab menurutnya, generasi muda hanya mengenal sastrawan dari luar Sulteng.
“Festival Sastra Tadulako Notutura nanti akan hadir kembali merawat eksistensi sastra di Kota Palu. Lewat arsip karya dari seorang sastrawan seperti Abah Tjatjo,” tutur Iin kepada Tutura.Id, Senin (7/8/2023).
Festival Sastra Tadulako Notutura membuka kesempatan bagi penikmat sastra untuk dapat menyaksikan karya-karya TS. Atjat. Utamanya menyasar generasi muda agar tidak asing dengan tokoh dan karya sastra di daerahnya.
Bentuk kesenian yang ditampilkan dalam Festival Sastra Tadulako Notutura juga akan menampilkan karya-karya TS. Atjat.
Pementasan di atas panggung hingga perlombaan akan mengambil interpretasi dari karya sang penyair kebanggaan Kota Palu itu.
Dalam Festival yang sepenuhnya mendapat dukungan dana dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa itu, diharapkan membawa harapan agar karya-karya TS. Atjat bisa makin dekat jaraknya dengan generasi muda.
Situsweb kosong dan tanpa pameran karya
Sayangnya rencana tadi hanya tinggal wacana. Niat menghadirkan karya TS. Atjat dalam bentuk pameran di festival urung terlaksana.
Dalam Festival Sastra Tadulako Notutura bertajuk “Malam Sastra” yang berlangsung 27-28 Oktober 2023, tidak ada pemeran karya-karya TS. Atjat. Hanya ada seni pertunjukan.
Saat acara peluncuran situsweb KSL pada hari terakhir festival, karya-karya TS. Atjat yang dijanjikan bakal hadir dalam bentuk digital juga tidak hadir.
Hanya ada profil TS. Atjat berdampingan dengan seniman lokal lainnya. Bisa dicek dalam laman ini.
Hal ini lantas mengundang kekecewaan. Pasalnya inti dan semangat festival tidak tercapai. Generasi muda yang memiliki ketertarikan dengan sastra seperti Dinul harus membuang harapan karya ini dapat dekat dengan generasi muda.
Meskipun karya-karya TS. Atjat telah ditampilkan melalui interpretasi karya lain oleh pelaku seni di atas panggung, tapi Dinul menilainya masih jauh dari harapan.
"Hanya penampil-penampil saja yang menarik, itu pun tidak diperhatikan penonton, kan, akhirnya. Ya, seharusnya ada buku-buku karya Abah Tjatjo juga yang dipamerkan,” tutur Dinul kepada Tutura.Id di sela kegiatan festival yang berlangsung di Jalan Sultan Alauddin, Kelurahan Tavanjuka.
Bagi Dinul, bukan pekerjaan mudah jika ingin membaca karya-karya Abah Tjajo. Selama ini yang ia lakukan harus pergi bertamu ke rumah TS. Atjat. Pernah juga ia mengunjungi rumah orang lain yang memiliki koleksi buku-buku karya TS. Atjat.
Beruntung, Dinul sempat diberikan beberapa buku karya TS. Atjat dari salah satu seniman yang kini tersimpan di Perpustakaan TBM Todea.
“Sebenarnya masih banyak karya Abah Tjatjo yang belum dipublikasikan. Bahkan ada karya tulis yang sudah ada sejak SMP. Ini seharusnya menjadi perhatian dari dinas terkait," Dinul menambahkan.
Menyoal gagalnya arsip karya TS. Atjat dipamerkan dalam Festival Sastra Tadulako Notutura, Iin menjelaskan karena ketidakhadiran Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Bukan karena ketidakmampuan KSL sebagai penyelenggara.
"Kami kemarin berharapnya orang-orang dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ke sini untuk pamerkan arsip karya beliau (TS. Atjat, red). Cuma karena mereka juga ada kongres bahasa di Jakarta, jadi mereka tidak bisa datang. Pameran rencana kami geser bulan depan (November) ," beber Iin.
Gelagat yang sama ketika Tutura.Id menghubungi Syifah, anak perempuan TS. Atjat yang selama ini melindungi arsip-arsip karya sang penyair.
Ia mengaku kecewa dengan sikap pemerintah daerah yang menurutnya seolah tidak lagi memperhatikan publikasi sastra karya TS. Atjat.
“Instansi yang peduli ada beberapa, tapi tidak berkelanjutan. Hanya jadi seperti itu saja. Terakhir, tahun lalu Abah dihubungi oleh Balai Bahasa untuk peluncuran buku cerita anak dalam Bahasa Kaili. Untuk tahun ini belum ada lagi,” ungkap Syifah, Rabu (1/10).
Tjatjo Tuan Saichu TS. Atjat Abah Tjatjo penyair karya sastra Komunitas Seni Lobo Festival Sastra Tadulako Notutura pameran