Tujuh hikayat di Lembah Palu pilihan Tjatjo Tuan Sjaichu Al-Idrus
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 12 Agustus 2023 - 12:50
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Tujuh hikayat di Lembah Palu pilihan Tjatjo Tuan Sjaichu Al-Idrus
Koleksi buku sastra milik (Tjatjo Tuan Sjaichu Al-Idrus (Foto: Mugnhi Mayah/Tutura.Id)

Ada banyak hikayat di Lembah Palu. Namun tradisi tutura alias hanya menyampaikannya secara lisan menjadikan hikayat ini tidak sedikit yang hilang.

Riwayatnya sangat bergantung kepada sang penutur. Ketika penuturnya hilang, maka putus pula hikayatnya.

Kekhawatiran ini sudah lama menjadi perhatian Tjatjo Tuan Sjaichu Al-Idrus. Sastrawan Kaili ini telah melahirkan berbagai karya sastra berupa syair puisi, cerita pendek, pantun hingga novel berbahasa Indonesia, Kaili, dan Inggris.

Abah Tjatjo, demikian sapaan akrabnya, bilang sebuah hikayat yang menjadi petunjuk sejarah di Lembah Palu seakan mulai lenyap diingatan masyarakat. Inilah yang mendorongnya giat mengumpulkan dan menuliskan hikayat-hikayat ini agar tak lekang.

Berbeda dengan folklor alias cerita rakyat yang di dalamnya murni bercampur mitos, hikayat terkadang masih berisi unsur kesejarahan dari sebuah peristiwa yang nyata terjadi. Kata hikayat merupakan serapan dari Bahasa Arab yang artinya cerita atau kisah.

"Sayang sekali semua peristiwa yang pernah terjadi  di Lembah Palu mulai hilang. Karena sejak dulu di Sulawesi Tengah ini tidak ada tulisan. Sehingga segala sesuatu itu dituturkan. Jadi, manakala penutur ini sudah hilang. Maka tidak bisa lagi bersambung," tutur Abah Tjatjo pelan saat bersua Tutura.Id di kediamannya, Senin (7/8/2023).

Olehnya Abah Tjatjo telaten mengingat dan menulis ulang berbagai hikayat lokal ini. Beberapa sudah ada yang sudah terpublikasi dalam bentuk buku. Hanya saja sebagian koleksi karyanya juga telah termakan rayap.

Mengingat kondisi itu, Komunitas Seni Lobo (KSL) berencana menggelar Festival Sastra Tadulako Notutura, akhir Oktober 2023.

Tokoh dan karya sastra Sulteng menjadi inti festival ini, termasuk Abah Tjatjo dan sejumlah sastrawan lainnya, seperti Hasan Bahasuan dan Syahrir Lawide.

Penyelenggaraan festival diharapkan bisa mendorong para tokoh dan karya sastra bisa dikenal luas oleh generasi muda di daerah sendiri. Sebab menurut Iin Ainar Lawide selaku Program Manager KSL, generasi muda hanya mengenal sastrawan dari luar Sulteng.

"Festival Sastra Tadulako Notutura nanti akan hadir kembali merawat eksistensi sastra di Kota Palu. Lewat arsip karya dari seorang sastrawan seperti Abah Tjatjo," tutur Iin.

Dengan semangat yang sama, kami meminta rekomendasi Abah Tjatjo dan Komunitas Seni Lobo tentang tujuh hikayat yang khas di Lembah Palu.

Hikayat Bulangisi

Hikayat Bulangisi datang dari seorang penyebar agama Islam yang pertama di Tawaeli, Kota Palu. Sosok itu bernama Daeng Makondang yang diberi gelar "bulangisi" atawa gigi putih. Pasalnya Bulangisi tidak mengikuti kebiasaan masyarakat Tawaeli mengunyah sirih yang membuat gigi berwarna kuning kemerahan. 

Daeng Makondang berasal dari Sendana, Mandar. Ia diyakini pernah berguru pada Syekh Yusuf (1626-1699) di Makassar, kemudian menyebarkan Islam di Tawaeli dan berhasil mengislamkan Magau (Raja) Daesalemba. Selain itu, ia juga dianggap sebagai orang pertama yang mengajarkan huruf Al-Qur'an di Tawaeli.

Hikayat Dato Karama 

Pada abad ke-17 agama Islam mulai masuk di Tanah Kaili dibawa oleh Abdullah Raqie bergelar Dato Karama. Gelar ini diberikan karena sejak awal kedatangannya ia dikenal dengan kesaktiannya.

Dikisahkan dalam hikayat, saat perahu yang ditumpangi rombongan Dato Karama memasuki Teluk Palu dari kejauhan sudah terdengar suara "tabea" alias tanda memberi penghormatan. Ada pula bunyi detuman tembakan meriam tiga kali. Lalu menyusul bunyi gong tanda kemenangan dan selamat dalam perjalanan. 

Perahu merapat atau tepatnya terdampar ke daratan lantaran kerasnya arus kala itu. Perahu kemudian pecah sesaat setelah rombongan menepi. Alih-alih menjadi potongan-potongan kayu, pecahan perahu tiba-tiba mewujud menjadi sebuah tikar besar yang membentang. Sementara layarnya menjadi perkemahan. 

Tempat Dato Karama bersama rombongannya terdampar kemudian diberi nama Karampe. Letaknya kini di Kelurahan Besusu Barat. Dahulu di mintakat ini banyak tumbuh pohon taipa alias mangga. Hingga sekarang orang-orang masih menyebut pohon mangga yang tumbuh di daerah ini sebagai taipa Karampe.

Hikayat I Pue Lasadindi atau Mangge Rante

Kisah hikayat di Lembah Palu yang pekat dengan heroisme terpatri dalam sosok I Pue Lasadindi atau yang lebih dikenal dengan Mangge Rante. Bukan hanya karena seorang bangsawan, tetapi dirinya juga seorang tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia yang berkiprah sebagai ulama. 

Dikisahkan Abah Tjatjo, I Pue Lasadindi mendapat gelar Mangge Rante atau paman yang kakinya dirantai lantaran kisah perjuangannya mengusir penjajah Belanda dan Jepang pergi dari Tanah Kaili.

Lasadindi sering ditangkap penjajah dan dimasukkan dalam sel tahanan dengan kaki terantai. Saat penjaga penjara Belanda pergi, hilanglah rantai yang dipasangkan kepadanya. 

Hikayat Daeng Lugude

Sosok yang diperkirakan hidup antara tahun 1500-an ini adalah paman Magau Daesalemba. Daeng Lugude yang bergelar Ntokaili diyakini sudah lebih dahulu memeluk agama Islam.

Hal ini dibuktikan melalui perkawinannya dengan puteri Sultan Johor. Seandainya Daeng Lugude tidak memeluk Islam, Sultan Johor yang kala itu sudah tersohor sebagai pemimpin Kerajaan Melayu Islam sudah tentu tak menerimanya sebagai menantu.

Sesudah masuk Islam, Daeng Lugude menjadi ahli hukum dan tata negara di Kerajaan Tawaeli. Perkawinannya dengan putri Sultan Johor kelak menghasilkan keturunan yang turut berkiprah membawa Islam ke Lembah Palu. 

Hikayat Pue Bongo

Pue Bongo merupakan Raja Bangga yang lokasi kerajaannya kini menjadi Desa Bangga di Dolo Selatan, Kabupaten Sigi. Gelar Pue Bongo berarti kakek tuli merujuk kondisi pendengarannya yang terganggu. Pun demikian, ia memiliki kanuragan yang membuatnya disegani kawan dan lawan. 

Bekal kesaktian itu pula yang membuatnya sukses menyelesaikan misi dari Raja Buol untuk menumpas gerombolan pengacau. Ia kemudian dinikahkan di Buol dan memiliki anak bernama Lagarutu yang kini diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kota Palu.

Selain tangguh dan disegani, Pue Bongo juga merupakan salah satu raja yang berperan penting menyebarkan agama Islam di Sulawesi Tengah, khususnya di wilayah Kabupaten Sigi. Pue Bongo menganut Islam ketika berjumpa dengan Dato Karama.

Hikayat Ngilinayo 

Ngilinayo adalah seorang putri dari Kerajaan Sigi. Kisahnya menyeruak bersamaan dengan kedatangan Sawerigading di Lembah Palu. Ada banyak versi cerita yang mengiringi pertemuan Sawerigading dan Ngilinayo.

Dikisahkan Sawerigading jatuh cinta pada Ngilinayo dan ingin melamarnya. Ngilinayo memberi syarat kepada Sawerigading dengan mengadakan sabung ayam. Jika ayam milik Sawerigading menang, maka lamaran diterima. Sebaliknya, jika ayam milik Ngilinayo yang menang, artinya pinangan ditolak.

Belum sempat adu ayam dilaksanakan, tanah Sigi berguncang hebat. Banyak bangunan runtuh. Semua orang lari pontang-panting menyelamatkan diri. Lindu besar. Akibat gempa dahsyat tersebut diyakini membentuk Lembah Palu sekarang.

Hikayat Rangiggamagi

Hikayat selanjutnya datang dari pejuang perempuan di Tanah Kaili bernama Ranginggamagi. Seorang putri bangsawan Kaili di wilayah Tatanga. Ia merupakan Baligau (Raja) ke 9 dari 10 Baligau yang ada di Tatanga. 

Ia naik takhta dari 1895 hingga tahun 1903 saat tentara Belanda berhasil menangkapnya dengan taktik culas sebuah jebakan di Pasar Banawa, Donggala, saat malam hari. Setelah itu ia kemudian diasingkan ke Cilacap, Jawa Tengah.

Berkat keberanian dan kegigihannya mengusir penjajah dari Bumi Tadulako, Ranginggamagi beroleh gelar "Tomanasa" alias tak terkalahkan. Fragmen perjuangannya juga melebur dalam sebuah tarian.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
5
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Kaleidoskop 2022: Seni Budaya
Kaleidoskop 2022: Seni Budaya
Ramai penyelenggaraan konser dan festival musik setelah dua tahun absen jadi peristiwa paling menyita perhatian…
TUTURA.ID - Kiprah para puan yang tak sekadar mengurusi pekerjaan domestik
Kiprah para puan yang tak sekadar mengurusi pekerjaan domestik
Kaum perempuan sejak dahulu sudah punya peran sentral dalam masyarakat. Mereka sekali lagi membuktikan itu.
TUTURA.ID - Meregenerasi Bahasa Kaili lewat buku-buku sastra
Meregenerasi Bahasa Kaili lewat buku-buku sastra
Komunitas Seni Lobo menggelar diskusi terbuka yang mengangkat topik tentang regenerasi Bahasa Kaili melalui karya…
TUTURA.ID - Workshop Sastra Pakuli: Ikhtiar penciptaan karya sastra jadi medium pencatatan keragaman botani herbal
Workshop Sastra Pakuli: Ikhtiar penciptaan karya sastra jadi medium pencatatan keragaman botani herbal
Keragaman bahan tanaman obat di Desa Pakuli memantik minat untuk dicatatkan. Uniknya, kekayaan pengetahuan lokal…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng