Persoalan tengkes alias stunting tak sekadar masalah anak dan orang tua, tapi telah menjadi perkara kesehatan nasional selama beberapa tahun terakhir.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo bahkan mendesak semua pihak terlibat dalam menekan angka tengkes dari 21,6% sebagaimana data Survei Status Gizi Indonesia (2022) menjadi di bawah 14% pada 2024.
Masih tingginya prevalensi tengkes di Indonesia ternyata turut dipengaruhi oleh angka di level provinsi hingga kabupaten/kota.
Di Sulteng pada 2020, tengkes berada di angka 28,2%. Sementara di 13 daerah tingkat dua lebih bervariasi. Sigi menjadi yang tertinggi (36,8%) dan Banggai Laut paling rendah (20%).
Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), tengkes adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar. Terjadi kurun 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Menurut Sekretaris Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Kabupaten Sigi, Riadin Lahido, ada pelbagai akar masalah yang paling memengaruhi tingginya angka tengkes di daerah seluas 5.196,02 kilometer persegi ini.
“Pertama, karena angka pernikahan dini. Kedua, tidak layaknya fasilitas sanitasi di tingkat rumah tangga. Ketiga, rendahnya angka kunjungan ke posyandu. Keempat, sarana dan prasarana untuk menunjang tercapainya kesehatan tak memadai,” kata Riadin ketika dihubungi Tutura.Id, Minggu (14/7/2024).
Kendati berakar pada asupan nutrisi, Riadin menemukan bahwa imbas pertautan antara beragam masalah di atas yang bermuara pada terciptanya kondisi tengkes di Sigi.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P2KB) Sigi ini menjelaskan, pasangan suami istri yang tercipta akibat pernikahan dini masih minim pengetahuan soal penyediaan asupan gizi keluarga.
Tak hanya itu, lantaran jarang berkunjung ke kegiatan posyandu, banyak kondisi kesehatan ibu hamil dan bayi yang buruk tidak terpantau sehingga terlambat melakukan intervensi pencegahan.
“Kondisi semacam ini cenderung terjadi di wilayah pelosok atau jauh dari pusat pemerintahan yang punya fasilitas kesehatan dibanding wilayah urban atau pertengahan lembah Sigi,” jelasnya.
Pernyataan Riadin soal hubungan angka pernikahan dini dan tengkes terafirmasi dalam Jurnal Politehnik Kementerian Kesehatan (Poltekkes) Gorontalo berjudul Literature Review: Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap Stunting.
Termaktub dalam jurnal tersebut, dari 19 artikel yang diulas antara 2013-2023, hasil pernikahan di bawah umur berdampak menghasilkan tengkes.
Adapun dalam riset Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tompotika Luwuk (2021), sanitasi yang buruk dapat menimbulkan penyakit infeksi pada balita sehingga menganggu proses penyerapan nutrisi dan bisa mengakibatkan tengkes jika berjalan dalam waktu yang lama.
Sementara dalam riset berjudul Frekuensi Kunjungan Posyandu Dan Riwayat Kenaikan Berat Badan Sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 3–5 Tahun (2015), diperoleh kesimpulan bahwa anak yang kurang aktif datang ke posyandu berisiko 3,1 kali mengalami tengkes dibandingkan anak yang aktif datang ke posyandu.
“Makanya giat menurunkan stunting di Sigi tidak hanya tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan, tetapi semua instansi yang tergabung dalam TPPS. Artinya, ketika mau menekan angka stunting, semua OPD wajib terlibat,” imbuh Riadin.
Bentuk intervensi yang dimaksud oleh Riadin ialah Program Terpadu Percepatan Penurunan Stunting dan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Perangkat Daerah (Tangguh Bersinar). Pemerintah Provinsi Sulteng bekerja sama dengan Pemkab Sigi yang diperbantukan kepada 118 desa.
Program Tangguh Bersinar, sambung Riadin, berfokus pada kolaborasi OPD, organisasi nonpemerintah, hingga perusahaan lewat skema pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan Corporate Social Responsibility (CSR).
Model pendistribusian bantuan Tangguh Bersinar meliputi sumbangan berbentuk produk sumber nutrisi, penyuluhan, hingga infrastruktur yang bisa menunjang penurunan angka tengkes, seperti fasilitas sanitasi.
Selain dari Pemprov Sulteng, upaya menurunkan tengkes secara mandiri juga dilakukan oleh Pemkab Sigi lewat sejumlah langkah proaktif, mulai dari kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda) Sigi 6/2022 tentang Percepatan dan Penurunan Stunting dan Angka Kematian Ibu dan Bayi, program sejuta telur, hingga pendampingan pasutri baru.
“Memang di 2020, Sigi juru kunci stunting di Sulteng. Tapi, tiga tahun berikutnya Sigi yang penurunannya paling besar yaitu 10,4% dan berada di posisi enam se-Sulteng,” terang Riadin.
Kendati demikian, Riadin mengaku bahwa statistik yang ada saat ini merupakan hasil dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI).
Sementara bila mengacu pada survei aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), penurunan prevalensi tengkes di Sigi sudah mendekati target nasional.
Riadin bilang, sesuai data e-PPBGM (2023), prevalensi tengkes di Sigi ialah 2.278 dari 14.944 bayi yang ikut pengukuran. Angka ini setara 15,24%.
Demi bisa menekan angka tengkes hingga di bawah target nasional, Riadin menjelaskan bahwa pihak Dinas P2KB Sigi secara spesifik bakal berfokus pada pemantapan pengetahuan calon pengantin dan ibu hamil, lewat Tenaga Pendamping Keluarga (TKB).
tengkes stunting kesehatan Pemerintah Kabupaten Sigi Pemprov Sulawesi Tengah Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat Survei Status Gizi Indonesia Tim Percepatan Penurunan Stunting pernikahan dini posyandu sanitasi