Sengketa lahan antara PT Agro Nusa Abadi (ANA) dengan warga Petasia Timur, Morowali Utara, memasuki babak baru.
Keputusan Gubernur Rusdy Mastura melepas lahan seluas 941 hektare yang selama ini jadi klaim PT ANA kepada masyarakat berpotensi menimbulkan polemik baru.
Pendapat tersebut diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulteng.
WALHI Sulteng menyebut tindakan yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng ini masih jauh dari substansi konflik yang terjadi.
”Mereka (PT ANA, red) sejak pertama beroperasi sampai sekarang tidak punya Hak Guna Usaha. Bahkan, sejak awal sudah merampas lahan milik petani yang memiliki sertifikat hak milik dan surat keterangan pendaftaran tanah yang sah,” terang Aulia Hakim selaku Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye WALHI Sulteng kepada Tutura.Id, Senin (11/9/2023).
Dalam catatan WALHI Sulteng, PT ANA telah merampas lahan sekitar 4.800 hektare milik petani.
Rinciannya, 2.400 hektare di Desa Tompira, 1.000 hektare di Desa Bunta, dan 1.400 hektare di Desa Bungintimbe. Ketiga desa ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Petasia Timur.
Padahal anak usaha korporasi sawit Astra Agro Lestari ini hanya diberikan izin lokasi (inlok) seluas 7.244 hektare.
Luasan inlok tersebut merujuk Keputusan Pelaksana tugas (Plt.) Bupati Morowali Utara nomor: 188.45/Kep-B.MU/0096/VIII/2014.
“Soalnya lahan yang dirampas PT ANA selama 17 tahun terakhir tidak sepenuhnya dikembalikan kepada petani yang kehilangan tanahnya. Ini bisa bikin konflik baru antara warga yang mendapat pengembalian lahan dengan yang tidak,” tambah Aulia.
Doni Moidady selaku Koordinator KPA Sulteng segendang sepenarian. Pasalnya konflik agraria yang sedang terjadi ini melibatkan empat pihak, mulai dari PT ANA, warga yang punya SHM, warga yang punya SKPT, dan para buruh tani.
“Dalam pernyataan resmi Pemprov Sulteng, hanya disebutkan pengembalian lahan seluas 941 hektare, itu pun hanya di dua desa. Bagaimana dengan desa lain? Terlebih jika berbicara berdasarkan kategori penguasaan lahan,” kata Doni ketika dihubungi Tutura.Id, Senin (11/9).
Alih-alih memihak warga pemilik lahan sebagai korban, Pemprov Sulteng menurut kacamata Doni justru lebih mendukung PT ANA.
“Katanya Pemprov Sulteng ada bentuk tim untuk mendata ulang status kepemilikan lahan? Jangan sampai hanya pejabat berwenang atau pihak perusahaan yang dilibatkan. Seluruh warga yang terseret dalam konflik kepemilikan lahan juga harus dilibatkan,” sambung Doni lagi.
Kesan lebih membela korporasi juga tercermin dalam hal pengurusan Hak Guna Usaha (HGU). PT ANA semestinya ditindak berdasarkan aturan berlaku karena tidak memiliki HGU dan perkara maladministrasi penerbitan inlok.
“Pemprov Sulteng dan Pemkab Morowali Utara harus meninjau ulang pelepasan lahan seluas 941 hektare ini. Pemprov Sulteng harus mendesak kejahatan yang dilakukan PT ANA, kembalikan lahan secara adil, dan pulihkan nama baik petani, baru kemudian proses HGU-nya,” pungkas Aulia dari WALHI Sulteng.
Ruang hidup masyarakat yang selama ini terhimpit di antara wilayah perkebunan sawit PT ANA dengan konsesi tambang PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) juga tak diselesaikan. Masalah yang tak kalah krusial ini seharusnya turut jadi fokus Pemprov Sulteng dan Pemkab Morowali Utara.
Lihat postingan ini di Instagram
Gelagat negatif dalam mediasi pelepasan lahan PT ANA
Seperti diketahui, Gubernur Rusdy Mastura melalui Tenaga Ahli Ridha Saleh dan Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Adiman telah memediasi polemik penguasaan lahan bersama sejumlah pihak terkait di ruang teleconference Kantor Gubernur Sulteng, pekan lalu.
Hasilnya adalah pengembalian lahan seluas 941 hektare kepada masyarakat. Terdiri atas 659 hektare di Desa Bungintimbe dan 282 hektare di Desa Bunta. Hal itu tertuang dalam Rekomendasi Gubernur Sulteng Nomor: 590/412/SEKDAPROV bertarikh 28 November 2022.
Ridha Saleh via akun Instagram pribadinya @m.ridha_saleh menulis bahwa konflik antara PT ANA dengan masyarakat bisa segera selesai setelah pelepasan lahan tersebut.
Menurut pria yang karib dengan sapaan Edang itu, ekonomi masyarakat dan investasi tumbuh bersama untuk pembukaan lapangan kerja, mengurangi angka pengangguran, jaminan pendapatan yang pasti, dan pengurangan angka kemiskinan di Sulteng.
Meski hasil akhir mediasi terbaru merupakan tindaklanjut dari sembilan poin kesepakatan yang menjadi rekomendasi gubernur Sulteng pada tahun lalu, tetapi ada gelagat negatif dalam pengambilan keputusan yang dihadiri oleh pejabat Pemprov Sulteng hingga Pemerintah Desa (Pemdes) Bungintimbe dan Bunta itu.
Melansir deadline-news.com (8/9), mediasi yang menghasilkan enam poin rekomendasi itu diwarnai perdebatan yang sangat alot.
Wartawan deadline-news.com bahkan sempat dilarang oleh Tenaga Ahli Gubernur Sulteng Ridha Saleh untuk merekam dan mempublikasikan isi dan poin pertemuan mediasi. Alasannya menunggu terbitnya rilis resmi dari Pemprov Sulteng.
Teguh Ali selaku tim legal PT ANA yang turut hadir dalam mediasi tersebut bahkan menghindari topik soal ketiadaan HGU yang dikantongi PT ANA selama 17 tahun beroperasi.
Ia justru meminta agar Pemprov Sulteng tak menggunakan diksi “tidak memiliki HGU” dan meminta agar menggunakan narasi “sedang mengurus HGU”.
Ketika waktu jeda mediasi, Teguh yang diberondong pertanyaan soal alasan di balik tidak melakukan permohonan penerbitan HGU sedari awal beroperasi, merespon bahwa soal HGU itu akan dibahas ketika mediasi kembali dilanjutkan.
Namun, hingga selesainya proses mediasi tersebut, tak ada disinggung mengenai alasan di balik tidak dilakukannya permohonan penerbitan HGU di awal beroperasi.
Meski terkesan PT ANA bakal terlepas dari jeratan hukum, tetapi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng telah melakukan penyelidikan terhadap PT ANA yang diduga menghindari pajak. Taksiran kerugian negara mencapai ratusan miliar.
konflik agraria lahan tanah perkebunan sawit PT ANA Astra Agro Lestari Morowali Utara Gubernur Sulteng Walhi Sulteng KPA Sulteng Kejaksaan Tinggi Sulteng izin lokasi Hak Guna Usaha