Transisi energi di Sulteng bersimpang kenyataan di lapangan
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 15 Januari 2024 - 17:57
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Transisi energi di Sulteng bersimpang kenyataan di lapangan
Jetty PLTU captive milik PT GNI, Tanauge, Petasia, Morowali Utara | Asset: kertas kebijakan Aliansi Sulawesi Terbarukan/walhisulsel.or.id

Dua tahun silam Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng sempat membuat tiga plan terkait transisi energi, yaitu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB), serta pengadaan kendaraan operasional berupa motor listrik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kini dua dari tiga rencana itu sudah mulai terlihat. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pembangunan PLTA Bongka di Tojo Una-Una oleh PT Bongka Nova Energi sedang dalam tahapan penyusunan.

Sementara kehadiran kendaraan operasional berupa 12 unit motor listrik telah digunakan oleh para pegawai Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) kelas II Sulteng.

Transisi energi adalah sebuah upaya beralih menggunakan bahan bakar dari energi fosil, semisal minyak bumi, gas, dan batu bara menjadi energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.

Sumber EBT, merujuk RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan, tersedia oleh alam dan dapat terus diperbaharui karena sumbernya tak terbatas, seperti energi panas bumi, air, angin, matahari, dan biomassa

Tujuan mengubah penggunaan energi tadi jadi salah satu satu upaya meredam laju perubahan iklim yang kian ekstrem.Satu contoh dampak perubahan iklim yang sudah kita rasakan adalah menghangatnya suhu global. Terik matahari alias napane eo dalam bahasa Kaili terasa kian menyengat.

Cuaca makin panas dan kemarau berkepanjangan akhirnya bikin debit air di Danau Poso menurun drastis. Akibatnya sempat terjadi pemadaman bergilir di wilayah Kota Palu dan sekitarnya.

Dua peristiwa tadi, dan masih banyak lagi contoh lainnya, seharusnya jadi bukti sahih untuk mendorong proses menuju transisi energi menjadi program skala prioritas. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Program ini menemui rintangan terjal.

Data Global Energy Monitor menyebut sebanyak 53 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan kapasitas 14,49 gigawatt sedang tahap konstruksi sepanjang 2023.

Sulteng bahkan menjadi daerah yang terbesar dalam pembangunan PLTU batu bara ini dengan kapasitas 5,24 gigawatt atau 36,16% dari total kapasitas yang dibangun.

Pengkampanye/peneliti TuK Indonesia, Abdul Haris | Asset: TuK Indonesia

Peneliti TuK Indonesia: Lima mitos transisi energi

Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia Abdul Haris mengatakan, upaya menuju transisi energi ibarat sebuah mitos. Sekadar indah sebagai cerita, bukan dengan praktiknya.

“Sedikitnya ada lima mitos terkait transisi energi ini, yakni penghentian PLTU, jalan panjang eksploitasi sumber daya alam, EBT, ramah lingkungan, dan kesejahteraan,” kata Haris kala dihubungi Tutura.Id, Sabtu (13/1/2023).

Menurut Haris, rencana penghentian penggunaan energi batu bara justru sebaliknya. Sebab terjadi peningkatan energi batu bara sejak 10 tahun terakhir.

Laporan Yayasan Cerah mengungkap kenaikan kapasitas PLTU captive power dari 1,4 gigawatt menjadi 10,8 gigawatt atau hampir delapan kali lipat kurun 2013-2023.

PLTU captive power adalah pembangunan pembangkit listrik bertenaga batu bara demi pasokan listrik sendiri di luar pasokan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Satu contohnya bisa dilihat di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), salah satu lokasi hilirisasi nikel terbesar di Indonesia.

Haris menambahkan transisi energi juga bersimpang masifnya eksploitasi SDA imbas hadirnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kontrak (KK) karya pada berbagai wilayah.

Ia menyebut sesuai data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), IUP dan KK mencapai 7.851 izin pada tahun 2022. Hingga Maret 2022, sebanyak 126 IUP terbit di Sulteng.

Terkait EBT, sambung Haris, meski punya potensi lebih dari tiga ribu gigawatt, faktanya pengunaan energi masih didominasi energi fosil. Bahkan penggunaan batu bara terus mengalami peningkatan 54,7%-67,2% kurun 2016-2022. 
 
Peneliti TuK Indonesia ini juga menuturkan jika aktivitas menuju transisi energi juga tak ramah lingkungan sebagaimana klaim banyak pihak.
 
Ia menyitir hasil riset Stefan Giljum berjudul A pantropical assessment of deforestation caused by industrial mining dari Vienna University of Economics and Business yang melaporkan kondisi hutan hujan tropis di 26 negara. Indonesia termasuk menyumbang 58,2% deforestasi.
 
Itu bikin Indonesia sebagai negara penyumbang kerusakan hutan tropis tertinggi di dunia akibat industri pertambangan.
Pada level nasional, Sulteng berada di peringkat kesembilan soal melenyapkan pohon sebab telah kehilangan tutupan pohon seluas 745 ribu hektare antara 2001-2021.
Hilangnya kawasan hutan, perkebunan, dan non hutan di Sulteng berasal dari daerah industri nikel macam Morowali (149 hektare), Banggai (111 hektare), dan Tojo Una-Una (106 hektare).
 
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng bahkan berani menyebut jika pembangunan PLTA Bongka ibarat mengundang bencana. Hal ini lantaran ada 14 desa yang berpotensi dicaplok korporasi di sepanjang Sungai Bongka.
 
Mitos lain yang kerap didengungkan terkait transisi energi, lanjut Haris, adalah kesejahteraan masyarakat. Hadirnya investasi dianggap bisa membuka lapangan kerja, keterbukaan ekonomi, hingga peningkatan daya beli masyarakat.
 
Namun kenyataannya, penduduk miskin di Sulteng justru tergolong tinggi. Jumlahnya mencapai 395,66 ribu orang, di mana terjadi kenaikan penduduk miskin sebesar 7,31 ribu orang sejak Maret 2022 atau 5,95 ribu orang sejak September 2022.
 
“Ini karena antara rencana dan harapan tidak berjalan beriringan dengan realitas yang dilakukan. Batu bara masih dipandang sebagai primadona, sumber energi paling utama,” ujar eks direktur Walhi Sulteng ini.
 
Meski punya segudang masalah, kata Haris, perlahan tapi pasti transisi energi bisa dilakukan. Sedikitnya ada empat hal yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak, terutama pemerintah.
 
Pertama, transisi energi harus jadi program prioritas. Dibuktikan dengan kebijakan dan anggaran dari level pusat hingga daerah.
 
Kedua, harus ada proyek ambisius dengan mengambil wilayah percontohan di Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Wilayah ini punya banyak sumber daya potensial dan konsumsi energi fosilnya tak sebesar di Pulau Jawa.
 
Ketiga, PLN sebagai regulator sekaligus distributor energi satu-satunya di Indonesia harus melibatkan publik dalam menyediakan energi secara mandiri.
 
Terakhir, publik harus diajak berpartisipasi secara terbuka untuk memastikan hak mereka terlindungi atau mendapat persetujuan/kesepakatan tanpa paksaan dari warga bila pemerintah akan melakukan program transisi energi.
Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
3
Jatuh cinta
1
Lucu
1
Sedih
0
Kaget
0
Marah
1
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Guritan Kabudul: Ternyata kami juga berperan menciptakan neraka di tanah surga
Guritan Kabudul: Ternyata kami juga berperan menciptakan neraka di tanah surga
Duo folk asal Tentena, Poso, yang sedang merekam lagu-lagu untuk album perdana. Judulnya Budaya Elok…
TUTURA.ID - Momentum Pilkada Sulteng untuk usaha konsolidasi pembangunan berkelanjutan
Momentum Pilkada Sulteng untuk usaha konsolidasi pembangunan berkelanjutan
Banyak pemilih menaruh perhatian serius terhadap isu krisis iklim. Visi misi para calon kepala daerah…
TUTURA.ID - Pemkab Sigi meneken kerja sama peningkatan infrastuktur jalan
Pemkab Sigi meneken kerja sama peningkatan infrastuktur jalan
Kerja sama ini selain untuk mendukung pengembangan ekonomi masyarakat, juga demi mempermudah jalur mitigasi bencana…
TUTURA.ID - Kios sampah di Kelurahan Balaroa terhenti akibat ketiadaan lahan
Kios sampah di Kelurahan Balaroa terhenti akibat ketiadaan lahan
Upaya pengelolaan sampah yang dilakukan warga Balaroa terpaksa berhenti karena ketiadaan lokasi tempat untuk mengepul…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng