Minggu pagi, 13 Desember 2020, harusnya jadi waktu terapi, dan refreshing bagi Sunarji Haris Tasmuri alias Ateng. Ia memang sering pergi berendam di Pantai Talise guna meredakan nyeri sendi yang dipicu masalah asam urat (uric acid).
Jarum jam menunjukkan pukul 6.30 WITA, saat Ateng berangkat menuju Pantai Talise, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Biasanya, ia berangkat dengan istri atau anaknya. Namun keduanya punya kesibukan lain pada hari itu. Ateng pun memutuskan untuk berangkat sendiri.
“Namanya musibah tidak bisa ditebak. Memang kalau habis mandi laut itu enak sekali badan,” tutur Ateng menjelaskan kebiasaannya terapi berendam air laut. Tutura.Id berjumpa Ateng di rumahnya, bilangan Kelurahan Nunu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Alih-alih nyeri sendinya lenyap, justru kesakitan lain yang datang. Hari itu memang jadi momen nahas bagi Ateng. Sekitar pukul 8.00 WITA, Ateng tengah asyik berendam di tengah laut, dan tiba-tiba seekor buaya menyerangnya.
Jelang siang, video Ateng yang sedang memegangi tangan kanannya nan berlumuran darah hilir-mudik di beranda media sosial. Lelaki paruh baya itu tampak menangis kesakitan. Saking banyaknya darah, video itu dilabeli sebagai konten yang memuat kekerasan oleh Instagram.
Tangannya nyaris putus dalam peristiwa celaka itu. “Tanganku panas sekali, kayak terbakar," kata pria berusia 50 tahun tersebut. "Saya tidak akan pernah lupa kejadian itu."
Peristiwa itu berlangsung serba lekas. Ateng pun merasa tak digigit oleh buaya tersebut. Alih-alih digigit, tatkala momen itu terjadi, Ateng merasa bahwa tubuhnya sekadar ditarik oleh Si Buaya.
Ia pun menjelaskan bahwa luka yang dideritanya disebabkan oleh usaha untuk melepaskan diri. Ateng memang berusaha melepaskan diri. Tangan kirinya aktif bergerak, berusaha melepaskan tangan kanan dari Si Buaya. Pergumulan terjadi. Perlawanan itu agaknya membuat Si Buaya kian agresif, dan makin menguatkan gigitannya.
“Saya dibawa lari ke tengah (oleh buaya). Memang keajaiban karena tidak ada yang tahu (peristiwa itu). Saya cuman istigfar terus. Pokoknya saya pasrah sama Allah,” ujar pria berdarah Jawa itu.
Lepas dari gigitan buaya, perjuangan Ateng belum usai. Ia harus berenang menggapai tepian dengan satu tangan. Beruntung, menurut pengakuan Ateng, ada dua buaya lain yang mendorongnya dari belakang guna bisa mencapai tepian pantai.
Saat tiba di tepian, Ateng langsung beroleh bantuan dari beberapa orang yang kebetulan sedang bermain air, dan menikmati pemandangan Pantai Talise. Ia pun dilarikan dengan menumpang sebuah mobil menuju ke RS Bhayangkara Palu, yang berjarak sekitar satu kilometer dari Pantai Talise.
Begitu tiba di RS Bhayangkara Palu, bapak dua anak itu mendapat pertolongan pertama, dan langsung diarahkan ke RSUD Undata. Penanganan serius pun didapatkan di rumah sakit kelas B itu.
Tangan Ateng mendapat luka menganga nan lebar. Dagingnya tercabik-cabik. Tulangnya patah. Ateng pun harus menjalani operasi pemasangan dua buah pen.
Akibat peristiwa itu, kini letak tangan Ateng terlihat agak serong, dengan codet--bekas jahitan dan operasi--yang terlihat jelas.
Kisah mistis sebelum dan sesudah serangan
Malam sebelum peristiwa nahas itu, Ateng mengaku punya mimpi nan janggal. Dalam mimpinya, konon Ateng didatangi oleh seorang perempuan nan rupawan. Perempuan itu mengenakan pakaian tradisional bernuansa kuning--warna khas Suku Kaili.
“Perempuan itu datang dengan membawa tiga buah telur. Dia kasih tahu ke saya supaya tidak usah mandi laut. Saya juga diminta untuk ambil telur yang dibawanya,” kata pria yang sehari-hari berjualan mainan keliling (kekok-kekok) itu.
Ateng tak menggubris mimpinya. Ia baru mengingat mimpi tersebut beberapa saat setelah peristiwa nahas itu menimpanya. Ateng menyebutnya sebagai firasat yang diabaikan.
Ia mengaku sempat melihat perempuan yang sama tak lama setelah balik ke rumah usai mendapatkan perawatan di RSUD Undata. Konon sosok gaib itu beberapa kali menampakkan diri, dan melempar senyum kepada Ateng.
Ateng pun mengeklaim bahwa hewan yang mengigitnya ialah seekor buaya betina. Ia mengatakan bahwa dirinya tak akan pernah lupa dengan buaya betina itu, dan bisa membedakannya bahkan jika dijejerkan dengan ratusan hewan sejenis.
“Dia (buaya tersebut) seperti perempuan yang sedang menggunakan kalung emas. Pas saya tenggelam dalam air ada pantulan cahaya terang di lehernya. Di ekornya ada sesuatu seperti bintang, bagian dadanya putih, dan kepalanya kuning keemasan,” ucap Ateng.
Lantaran gigitan Si Buaya, Ateng pun mengalami trauma. Selama enam bulan lamanya, ia kehilangan nafsu makan. Ia lebih banyak minum air putih. Bila pun makan, Ateng hanya bisa mengonsumsi ikan gabus.
Hingga kini, Ateng masih trauma untuk “mandi-mandi” di laut. Kalau pergi ke laut, Ateng hanya mampu mencuci tangan, tak berani mencelupkan seluruh tubuhnya ke dalam air.
Sekadar catatan, beberapa tahun terakhir, konflik manusia dan buaya sering terjadi di Sulteng. Sekitar dua bulan terakhir, terjadi tiga peristiwa konflik manusia dan buaya yang berujung fatal alias memakan korban jiwa.
Ateng pun mengaku bersyukur. Meski tangannya nyaris putus, momen celaka itu tak berujung lebih fatal. "Itu keajaiban Allah," ujarnya, sambil melempar pandangan ke langit-langit.