Cerita perempuan penulis merawat memori kearifan lokal di Sulteng dengan buku
Penulis: Robert Dwiantoro | Publikasi: 17 Mei 2024 - 17:45
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Cerita perempuan penulis merawat memori kearifan lokal di Sulteng dengan buku
Balai Bahasa Sulteng dan 32 penulis buku dwibahasa (daerah-Indonesia) merilis buku cerita anak di Palu, akhir 2023 | Foto: balaibahasasulteng.kemdikbud.go.id

“Aku rela dipenjara asalkan dengan buku, karena dengan buku aku bebas.”

Kutipan lawas di atas terucap dari Mohammad Hatta. Sosok proklamator yang terkenal menggilai buku dan menulis.

Tak heran jika Bung Hatta membawa serta 16 peti berisi buku saat pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Boven Digul, Papua, lalu berpindah ke Banda Neira, Maluku, kurun 28 Januari 1935 hingga 1 Februari 1942.

Selama di pengasingan Bung Hatta masih sempat menulis Alam Pikiran Yunani, sebuah buku filsafat yang diterbitkan 1941.

Meski beda secara kontekstual, tetapi keresahaan Bung Hatta tentang pentingnya buku, juga dirasakan oleh Meisya Trianur, Ikerniaty Sandili, dan Mardatillah, tiga perempuan penulis asal Sulteng.

Ketiganya juga termasuk dalam 32 penulis yang bekerjasama dengan Balai Bahasa Sulteng, mencipta buku cerita anak berbahasa daerah dan Indonesia (dwibahasa).

Pada momen peringatan Hari Buku Nasional 2024, yang diperingati saban 17 Mei, tiga penulis muda ini bercerita kepada Tutura.Id, Kamis (16/5/2024), ihwal kecintaan mereka terhadap peningkatan literasi dan merawat kearifan lokal di Sulteng.

Upaya ini laik didukung, pasalnya angka melek huruf di Sulteng pada 2023 hanya 98,14%, berada di urutan 19 dari 34 provinsi. Angka kegemaran membaca di Sulteng juga berada di posisi 30 (56,86%). 

Meisya Trianur, penulis buku Sajak Anjana (2022) dan I Bomba Buya Nagaya (2023) | Sumber: Istimewa

Dari Sajak Anjana ke I Bomba Buya Nagaya

Sajak dan anjana tak bisa terpisahkan

Bagiku satu dalam Atma

Merasuk Sukma yang sudah tersugesti

Bagimu rancu namun bagiku dahayu

Bagi Meisya Trianur, penggalan puisi ciptaannya di atas yang berjudul "Sajak Anjana" tak sekadar hanya melestarikan karya sastra. Lebih-lebih jika bercerita seputar 21 kumpulan puisi yang ia bukukan dengan judul serupa yang diterbitkan dua tahun silam.

“Puisi itu salah satu cara kita berekspresi, menyampaikan gagasan, bahkan kritikan. Misal puisi 'Sajak Anjana' ini merepresentasikan sosok perempuan yang berusaha bangkit dari keterpurukan. Ia mencoba berdamai dengan kekurangan dirinya, alih-alih membandingkan diri dengan orang lain,” ungkap Meisya.

Menurut mahasiswi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tadulako, sekalipun dunia mengalami perkembangan begitu pesat, karya sastra semacam puisi akan selalu menemukan peminatnya. Puisi, kata Mey—sapaan karibnya—tak akan lekang oleh waktu lantaran puisi bisa menggambarkan kekinian seseorang lewat kata-kata terbatas.

Kecintaan perempuan 22 tahun ini terhadap karya sastra turut dituangkan lewat buku berjudul I Bomba Buya Nagaya (2023) terbitan Balai Bahasa Sulteng. Buku cerita anak berbahasa Kaili Unde yang dialihbahasakan ke Indonesia itu dipilih oleh Mey sebagai upaya membumikan kearifan lokal di Sulteng.

“Saya pilih tema ini (sarung Bomba dan Kaili Unde), karena memang orang tua saya adalah penenun dan memang berlatar suku Kaili Unde. Saya ingin anak-anak sejak dini tahu bahasa Kaili Unde dan paham tutorial bikin sarung Bomba. Bukan hanya orang dewasa saja,” tuturnya.

Alasan lainnya, sambung Mey, lantaran Balai Bahasa Sulteng menemukan sedikitnya 22 bahasa di Sulteng terancam punah. Salah satunya Bahasa Kaili. 

Hadirnya buku cerita anak I Bomba Boya Nagaya, yang ia ciptakan bisa menambah khazanah di kalangan belia, baik sebagai pelajaran bahasa maupun pengetahun dasar kearifan lokal yang menjadi unggulan di Sulteng. Ibarat peribahasa, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Mardatillah (kiri) penulis buku bahasa Tialo-Indonesia berjudul Si Lalampa Toboli (2023) | Sumber: Istimewa

Dari Preman Berdasi sampai Si Lalampa Toboli

Meski telah aktif di dunia literasi sejak 2015, Mardatillah (29) mengaku baru berhasil menerbitkan karya pertamanya pada 2020. Preman Berdasi, sebuah novel satire jadi pengantar Marda, panggilannya, di dalam dunia kepenulisan buku di Sulteng.

Berbekal hobi menulis disertai kerinduan ingin memperkenalkan daerah Bolano Lambunu, Parigi Moutong, kepada khalayak menjadi alasan Marda menerbitkan dua karya berikutnya.

“Seperti di novel Preman Berdasi, saya pakai gaya bahasa atau logat khas orang Pantai Timur yang lebih dekat dengan cara berbicara orang-orang di Utara. Misalnya, ngana yang berarti kamu atau kau,” kata Marda.

Tak berhenti sampai di novel Preman Berdasi, pendiri  Gerakan Labonge Literasi Milenial (GLM) Bolano Lambunu ini juga menulis buku puisi dan cerita pendek berjudul Aksara Sang Penikmat Rindu dari Bukit Poi Poopa (2021), buku ontologi Bias Jingga (2021), dan Si Lalampa Toboli (2023), buku cerita anak bahasa Tialo-Indonesia terbitan Balai Bahasa Sulteng.

“Lalampa Toboli seperti yang kita tahu adalah kuliner khas Parigi Moutong. Meskipun viral tapi masih di kalangan warga Sulteng, belum dikenal luas seperti rendang dari Padang, Sumatera Barat. Nah, karena ini buku cerita anak, saya ingin agar lalampa Toboli bisa dikenal lebih luas lagi,” terangnya. 

Soal alasan memilih bahasa Tialo dalam buku cerita anak itu, lanjut Marda, karena dua hal. Pertama, bahasa ibu yang dikuasai Marda hanya bahasa Tialo. Kedua, secara geografis letak pusat pemasaran lalampa Toboli masih terbilang dekat dengan wilayah persebaran bahasa Tialo.

Melansir Data Pokok Kebahasaan dan Kesastraan, dialek Tialo merupakan satu dari lima dialek yang masuk dalam Bahasa Dondo. Bahasa Dondo, tersebar di Parigi Moutong, Tolitoli, dan Donggala bagian Utara. Adapun Bahasa Dondo dialek Tialo mayoritas di Moutong. 

Alumni Pascasarjana Universitas Islam Negeri Datokarama, Palu, ini berharap Hari Buku Nasional 2024 tak sebatas seremoni saja. Harus ada gebrakan dalam dunia literasi di Sulteng, sebagaimana salah satu kutipan favorit dalam novel Preman Berdasi yang ditulisnya.

“Melakukan perubahan tak harus sempurna. Hanya lakukan secara terus menerus sampai ia menjadi sempurna. Karena kesempurnaan adalah tindakan, proses, dan perjuangan terus menerus dilakukan secara konsisten.” imbuhnya.

kerniaty Sandili (30), sedang mengulas buku ciptaannya berjudul Yang Lahir dan Berakhir di Teluk Palu (2023) | Sumber: Istimewa

Di Ujung Desember hingga Tina tukon Baku 

“Kata-kata bersembunyi di balik wajah. Kata-kata tak lagi diperlukan.”

Petikan singkat dari novel berjudul Yang Lahir dan Berakhir di Teluk Palu (2023) ciptaan Ikerniaty Sandili (30), seolah sebuah teki-teki bila hanya membaca sepintas. Namun, bagi pembaca yang paham konteks, penggalan kalimat di atas sarat makna tentang kehilangan dan duka.

Bahkan, novel sebanyak 152 halaman itu turut menyoroti posisi negara yang abai terhadap penyintas perempuan pascabencana gempa bumi, tsunami, dan liquefaksi. Katastrofe yang meluluhlantahkan sebagian wilayah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong pada 28 September 2018.

“Misalnya buku Yang Lahir dan Berakhir di Teluk Palu atau Tina tukon Baku (2023). Buku pertama tentang gempa bumi Palu dan buku kedua soal ubi Banggai, punya banyak jurnal penelitian kalau dijadikan karya nonfiksi. Nah, saya mencoba mengangkat dua topik ini menjadi cerita fiksi yang ringan tapi kuat. Buku-buku ciptaanku juga saya angkat dari pengalaman yang sangat dekat dengan saya,” ujar Iker.

Pernyataan Iker cukup beralasan. Selama beberapa tahun terakhir, Iker dominan beraktivitas di Palu dan Banggai Laut. Sebagai perempuan berdarah Banggai, ubi Banggai bukan hal yang asing baginya. Komoditas dengan nomeklantur ilmiah Dioscorea alata L. ini merupakan primadona sekaligus tanaman endemik di Banggai. 

Menurut novelis cum jurnalis ini, selain dua buku fiksi di atas, ia juga menulis buku puisi dan senandika (solilukui). Secara makna dan estetika sebagai karya sastra, keduanya identik. Tapi, agak sedikit berbeda dalam penyusunan kalimatnya. Puisi disusun bait demi bait, sementara senandika berbentuk paragraf. 

Salah satu karya senandika yang dibuat oleh alumni Universitas Tadulako ini berjudul Di Ujung Desember (2017) yang jadi buku pertamanya. Kemudian, novel Menggungat Purnama (2018), antologi puisi Banggai dan Laut serta Musim yang Pergi yang terbit pada 2022.

Iker bilang ke depan masih akan menulis buku fiksi berdasarkan pengalaman atau kultur yang paling dekat dengannya. Demi meningkatkan angka literasi, Iker kasih saran supaya para calon penulis atau penulis pemula fokus dengan genre yang akan diangkat. 

"Kalau di lingkaranku, umumnya generasi Z itu suka bacaan fiksi kategori romansa. Bisa ambil peluang itu. Misal sukanya dengan kebudayaan yang dekat dengan keseharian kita, itu bisa diangkat. Intinya fokus dan konsisten saja," pungkasnya. 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
2
Jatuh cinta
4
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Menyambangi Koleksi Deposit; ruang terbitan lokal di Perpusda Sulteng
Menyambangi Koleksi Deposit; ruang terbitan lokal di Perpusda Sulteng
Tutura.Id berkesempatan melihat koleksi terbitan lokal di Perpustakaan Daerah Sulteng. Koleksi lokal ini menempati satu…
TUTURA.ID - Takbir keliling sambil mengadakan karnaval
Takbir keliling sambil mengadakan karnaval
Kebiasaan khas warga Desa Karya Mukti di Kecamatan Dampelas adalah menggelar takbir keliling sambil berkarnaval.
TUTURA.ID - Lima alasan mendatangi Festival Sastra Banggai
Lima alasan mendatangi Festival Sastra Banggai
Hajatan yang diinisiasi Yayasan Babasal Mombasa ini bakal berlangsung untuk keenam kalinya--digelar rutin saban tahun…
TUTURA.ID - Ahli waris kontra Pemprov Sulteng; GOR Siranindi, punya siapa?
Ahli waris kontra Pemprov Sulteng; GOR Siranindi, punya siapa?
Sengketa lahan GOR Siranindi sudah berlangsung 50 tahun alias setengah abad. Hingga kini kedua pihak…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng