Fotografi menjadi salah satu industri di sektor kreatif yang senantiasa bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman, terutama pesatnya laju teknologi.
Jenis atau genrenya tumbuh makin variatif, mulai dari potrait photography, fashion photography, stage/concert photography, wedding photography, sport photography, still photography, food photography, landscape photography, wildlife photography, dan masih banyak lagi.
Berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya, memotret kini tak melulu hanya bisa menggunakan kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) yang harganya cuma bisa ditebus sebagian kalangan.
Ada banyak opsi kamera bagus dengan harga lebih terjangkau memenuhi pasaran sekarang. Bahkan semua jenis ponsel pintar kini telah pula tertanam kamera. Alhasil peminat fotografi tak pernah berkurang.
Generasi muda juga makin antusias menggelutinya, bahkan tak sedikit yang memutuskan terjun sebagai juru potret profesional. Bersambut pula dengan apresiasi positif yang diberikan masyarakat.
Demi melihat kesempatan yang terbuka lebar itu, Charles Edward mendirikan Kumbaja pada tahun 2011. "Waktu itu Kukuh Ramadhan punya klien. Lantaran dia tidak punya portofolio, akhirnya dia ajak saya. Modalku waktu itu portofolio film," kenang Charles saat ditemui Tutura.Id, Selasa (1/2/2023).
Kumbaja bukan nama asing bagi Suku Kaili sebab berasal dari nama sarung tenun Donggala yang berhias benang emas. Lengkapnya Buya Sabe Kumbaja. Lantaran terbuat dari bahan premium, pada zaman dahulu hanya Madika dan Maradika (sebutan untuk kalangan bangsawan Kaili) yang mengenakannya.
"Nama kumbaja diberikan oleh mama yang kebetulan juga pada saat itu perajin sarung Donggala. Dulu itu identitas seseorang bisa dilihat dari seberapa banyak motif kumbaja yang dimilikinya. Makin banyak kumbaja yang dia punya menandakan statusnya sebagai madika. Makanya saya berharap orang yang foto-foto di sini juga orang yang spesial dan semoga hasil jepretan Kumbaja juga spesial bagi mereka," tambah Charles, 33 tahun.
Asumsi bahwa jika ingin menekuni bisnis fotografi harus punya modal besar ternyata tak berlaku bagi seorang Charles. Ia mengawali kariernya hanya dengan satu kamera bekas. "Waktu awal saya memulai sekitar 2011 itu modalku hanya Rp2,5 juta. Saya pakai beli kamera Nikon D300 bekas."
Charles juga tidak memiliki dasar sebagai fotografer, melainkan perfilman dan jurnalistik karena sempat menimba ilmu di Lembaga Profesi Nasional Pertelevisian 2008-2009. Pun demikian ia tetap percaya diri memulai usaha jasa di bidang fotografi hingga sekarang.
Menjadi fotografer profesional sekaligus mendirikan studio foto tak dinyana punya prospek bagus di kota ini. Istilahnya bisa menghidupi.
View this post on Instagram
Ada kualitas, ada harga
Studio foto Kumbaja milik Charles bukan hanya tersohor karena hasil jepretannya, merujuk istilah anak sekarang, sangat estetik dan berkelas. Harga yang mereka patok juga terkenal di atas rata-rata dibandingkan studio foto lain.
Untuk paket foto pernikahan, Charles mematok harga standar Rp19,5 juta. Tergantung alat produksi dan kebutuhan klien. Untuk paket pre-wedding photoshoot rentang harganya mulai dari Rp5,5 juta hingga Rp19,5 juta.
Beda lagi untuk panggilan foto personal dan keluarga. Hitungannya berdasarkan durasi. Harga paling rendah yang ditawarkan Rp3,3 juta. Kenapa bujetnya sedemikian?
"Jika pertanyaan ini muncul 10 tahun lalu, beda jawabannya dengan sekarang. Kalau dulu karena berdasarkan basic saya dan ini juga merupakan ilmu dari yang dulu saya dapat saat sekolah. Kalau sekarang jawabannya mungkin karena jam terbang. Oke, semua fotografer punya jam terbang tinggi, tapi beda lagi kalau soal identitas dalam berkarya," terangnya.
Jika kita menengok kanal media sosial Instagram Charles yang lebur dengan Kumbaja dalam satu entitas akun, kita akan menemukan dua model penyajian foto. Tak melulu berisi foto-foto hasil jepretan yang berbayar.
Charles menyisipkan pula foto-foto bercerita yang diberinya sebutan "Selembar penuh ASA". Segala konsep berasal dari hasil pemikirannya semata. Pun ia garap dengan cuma-cuma alias gratis. Orang bisa saja menyebutnya yin dan yang atau alter ego. Perkara mengerjakan sesuatu tanpa menagih upah juga tertuang dalam videoklip “Riuh dalam Dada” milik Fredxel.
“Sebenarnya itu bentuk dari caraku menyalurkan sisi idealisku. Semuanya tidak berbayar. Dan saya ingin supaya teman-teman juga bisa merasakan narasi yang saya bikin melalui beberapa photo story. Kisah ini saya beri nama selembar penuh asa,” pungkas Charles.
fotografi fotografer Kumbaja Photo Charles Edward industri kreatif buya sabe Instagram