Kami tiba di Luwuk pada Rabu malam (23/11), sebelum pelaksanaan Festival Sastra Banggai (FSB). Perjalanan dua belas jam bikin rombongan kami cuma bisa istirahat, menyiapkan tenaga untuk mengikuti utuh agenda acara yang dilaksanakan selama empat hari.
Festival Sastra Banggai, diselenggarakan untuk kali keenam, tajuknya “Tautan Keenam: Mengungkai Acak, Menyimpul Padu”. Tema tersebut ditujukan memperkuat persaudaraan antarsuku di Banggai Raya, yakni Banggai, Balantak, Saluan, dan Andio.
Tahun ini, FSB berlangsung selama empat hari, antara 24-27 November. Penyelenggara mengundang beberapa penulis kelas nasional. Seperti AS Rosyid, Darmawati Majid, Genta Kiswara, Fatris MF, Theoresia Rumthe, Weslly Johannes, JS. Khairen, Genta Kiswara, Eko Pocheratu, serta beberapa penulis yang lain.
Penampil juga begitu, FSB mendatangkan Aya Canina mantan vokalis Amigdala, Band Kapal Udara, dan penampil lainnya.
Kehadiran penulis nasional di FSB, bukan kali pertama. Pada gelaran tahun-tahun sebelumnya, beberapa penulis dan penyair ternama pernah singgah di festival ini, misal Aan Mansyur, Joko Pinurbo, Rusdi Mathari, Maman Suherman, Khrisna Pabichara, dan Candra Malik. Pun demikian dengan penampil yang pernah turut memeriahkan FSB, seperti Navicula dan Culture Project.
Pandangan di Hari Pertama
Saya berkesempatan mewakili Tutura.Id datang dan melihat langsung penyelenggaraan FSB Tahun 2022 ini. Selama empat hari penuh.
Pada hari pertama, Kamis (24/11), saya melihat beberapa penulis sedang berkumpul dan bercengkrama di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Teluk Lalong. Sementara beberapa penulis dan penampil lainnya akan tiba belakangan.
Para penulis yang berkumpul itu, sebagian besar sudah saling kenal. Mereka baru bertemu lagi di acara ini setelah sekian lama belum bertemu; layaknya sebuah reuni. Sementara yang lain, baru berkenalan di gelaran FSB 2022 ini. Melihat momen itu, panitia yang lain juga ikut nimbrung.
Pada malam pembuka, ada sekitar 150-an pengunjung datang. Luasan area Teluk Lalong sebagai venue FSB, membuat kesan kegiatan itu tidak terlalu ramai.
Entah karena ekosistem giat komunitas di akar rumput belum terbentuk atau ada yang lain. Namun fakta masih sedikit komunitas yang ada di Luwuk, termasuk komunitas literasi, bisa jadi variabel yang memengaruhi.
Penyelenggara pun harus meramu sedemikian rupa komposisi relawan yang terdiri dari 30 orang di FSB kali ini. Hasilnya, sebagian relawan punya latar belakang pelajar SMA, sebagian Mahasiswa, serta relawan tahun-tahun sebelumnya yang kini sudah terikat kerja.
FSB 2022 merupakan gelarannya ketiga yang saya singgahi. Sebelumnya saya hadir juga pada gelarannya di 2017 dan 2021. Ada beberapa perubahan yang saya sadari, mulai dari layout kegiatan, lokasi, serta komposisi penulis dan penampil.
Ada 10 tenda disediakan untuk UMKM lokal berjualan. Lalu ada enam tenda lain yang dijadikan ruang kelas.
Selain itu, ada dua lapak buku dengan koleksi berbeda turut pula meramaikan. Satunya diisi Buku Djarita--sebuah tokoh buku online. Sedang satunya lagi pelapak dengan koleksi buku-buku karya J.S Khairen, penulis muda yang datang di festival ini untuk mengisi beberapa sesi.
Gambaran keseluruhan
Saat jeda siang atau malam, beberapa orang memanfaatkan momen untuk bercengkrama. Saya juga mengobrol dengan Hanin, salah satu pengunjung. Kepada saya, Hanin mengaku datang untuk melihat salah satu penampil, Zombie, dan ini adalah pengalaman pertamanya mengadiri FSB.
Selama FSB berlangsung, buku-buku juga laris dengan jumlah lumayan. Amatan saya, penulis yang hadir di acara berpengaruh pada minat pengunjung untuk membeli bukunya.
Dari sisi jumlah pengunjung, kesan tidak terlalu ramai di hari pertama, juga berlanjut ke hari-hari berikutnya. Saya berasumsi, mungkin itulah gambaran minat warga Luwuk terhadap sastra, atau juga gambaran semangat kolaborasi kerja-kerja sosial.
Jika ditanyakan apakah FSB kali ini adalah yang tersukses atau tidak, maka cukup sulit menjawabnya. Pasalnya FSB, sudah kali ke enam terselenggara. Sukar menakar puncak kejayaan rayaan ini, sebab ia punya banyak sisi. Seperti hal event lainnya.
Bila dari sisi partisipasi warga, tentu terasa sudah mantap kalau dihadiri banyak orang. Tapi bila melihat dampak, melahirkan penulis misalnya, itu mulai berjalan. Jejaknya ada pada buku yang baru diluncurkan hasil dari Akademi Sastra Banggai.
Festival ini mungkin tumbuh pelan pada kota tanpa tokoh buku. Bertahan pada situasi keterbatasan masyarakatnya mengakses secara gratis bahan bacaan bermutu. Di sisi lainnya, gambaran sebuah kota yang warganya belum mengoptimalkan kolaborasi.
Sosok di balik FSB
Sebelum 2017, gagasan pelaksanaan FSB ini sudah hadir lewat obrolan-obrolan ringan di warung kopi. Ama Achmad, ketua Yayasan Babasal Mombasa sebagai salah satu ujung tombak gelaran rutin tahunan ini, terinspirasi festival-festival serupa yang ada di Makassar dan kota-kota lain yang punya gelaran serupa.
Perempuan jebolan MIWF 2014 itu, tetap mempertahankan nyala semangat para relawan di Banggai Raya, meski d tempat ini belum banyak komunitas-komunitas literasi dan tokoh buku.
Banyak kawan yang bantu Ama. Seperti Reza Nufa, Pemred basabasi, yang kini sudah menetap di Luwuk setahun, atau Neni Muhidin, pendiri sekaligus pemilik Nemu Buku, yang secara Tupoksi kerja berperan sebagai kurator. Mereka-mereka turut mendukung langkah Ama dan kawan-kawannya.
Sedikit jejak tajuk yang pernah mereka angkat dari tahun ke tahun penyelenggaraan FSB; Pada Tahun 2017, hajatan ini mengusung tema Rayakan kata, Bumikan ilmu. Tahun 2018, Re.so.nan.si Suara-suara yang memeluk. Tahun 2019, Musim-musim yang memberi tanda. Tahun 2020, Manusia di Simpang Dongeng dan Data. Tahun 2021, Tembung: Temu yang memaknai jara. Lalu pada tahun 2022 ini, Tajuknya Tautan keenam: Mengungkai acak, menyimpul padu.
Selama enam tahun, pasca pergantian kepala daerah, terhitung dari 2020, Pemda seolah tidak ambil pusing dengan gelaran itu.
Perihal meminjam tenda misalnya. Saya mendengar kesaksian Alisan, salah satu panitia FSB. Dia bersaksi harus berulang kali memastikan ketersediaan tenda. Sangat beda dengan perlakukan pemerintahan tahun sebelumnya.
“Di sini terlalu sulit diketuk. Sudah tiga tahun dengan ini kami tidak didanai. Dan, setelah selesai memang senang, tapi untuk 2023 masih ada tanda tanya besar bagaimana kami mengupayakan ini,” kata Ama.
Menanam harapan
Di luar tantangan yang dihadapinya, FSB Tahun 2022 ini, dengan tema Tautan keenam: mengungkai acak, menyimpul padu, terasa relevan dengan komposisi panitia dan mata acaranya. Dengan 21 agenda kelas dan 18 penampilan, plus testimoni para penulis.
“Perjalanan kita masih jauh, tapi saya percaya seperti yang kapal udara sampaikan lewat lagunya, “menanam harapan”, dan itu terlihat di Akademi Sastra Banggai (ASB),” ucap Ama pada malam penutupan FSB.
Lewat program itu, mereka berhasil meluncurkan buku Musim Yang Pergi, sebuah buku kumpulan puisi, cerpen, dan esai yang ditulis anak-anak Banggai Raya. Proses pembuatannya kata Ama, tidak mengeluarkan biaya karena hasil kerja jejaring. Penerbitan buku itu didukung penuh oleh program Baku Bantu MIWF.
Festival sastra banggai banggai sastra literasi ama achmad Yayasan Babasal Mombasa