Fenomena thrifting yang sejak berapa tahun belakangan menjamur di tanah air kembali membetot atensi publik. Terutama setelah Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membakar 7.363 bal pakaian bekas impor ilegal senilai hampir Rp85 miliar.
Tindakan yang berlangsung di Cikarang, Bekasi (28/3/2023), merupakan lanjutan dari arahan Presiden Joko Widodo mengenai larangan impor pakaian bekas.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 40/2022 tentang Perubahan Permendag No. 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor juga mengamanatkan hal serupa.
Tegas ada larangan mengimpor kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Alasannya karena dianggap merugikan pasar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) domestik, terutama UMKM. Pun berdampak buruk bagi kesehatan penggunanya.
Melansir detik.com (1/4), Redma Gita Wiraswasta selaku ketua umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia menyebut bahwa impor pakaian bekas berpotensi merugikan negara hingga belasan triliun rupiah. Impor pakaian bekas juga mereduksi penyerapan banyak tenaga kerja di industri tekstil.
Secara terminologi thrift berasal dari kata thrive yang artinya berkembang atau maju. Sedangkan kata thrifty berarti cara menggunakan uang dan barang dengan efisien. Sehingga thrifting dalam konteks ini mengandung arti kegiatan membeli barang-barang bekas dalam rangka melakukan penghematan atau menggunakan uang dengan efisien.
Kesadaran membelanjakan uang dengan efisien salah satunya tergambar dari pilihan membeli barang second alias bekas yang masih laik pakai.
Pilihan ini juga bisa kita baca sebagai antitesis dari budaya belanja fast fashion yang konsumtif. Pun merupakan sumber limbah dunia yang sangat besar. Setidaknya demikian menurut anggapan Riri Rengganis, seorang desainer fesyen, kepada Kompas.
Lantaran punya banyak pengikut, terutama dari kalangan generasi muda, thrifting lambat laun menjelma jadi sebuah tren gaya hidup. Pesohor Iqbaal Ramadhan gamblang mengaku kecanduan berburu cakar, padanan istilah thrifting dalam lidah orang Palu.
Di Kota Palu, kebiasaan “ba hambur cakar” sejak lama bisa dengan mudah bisa kita lihat di Pasar Lasoani, Pasar Biromaru, Pasar Masomba, hingga sebagian jalan I Gusti Ngurah Rai, Palupi.
Godaan mengenakan barang bermerek dengan harga miring jadi pilihan untuk bergaya dengan uang pas-pasan. Menjual aneka barang bekas akhirnya menjadi potensi bisnis yang menggairahkan. Banyak orang beroleh cuan dan menghidupi keluarga dari menggeluti bisnis tersebut.
Dampak dari pelarangan impor pakaian bekas tentu saja dirasakan oleh pemilik thrift shop yang ada di Kota Palu yang belakangan juga mulai menjamur. Salah satunya Bunga Thrift Store (bukan nama sebenarnya).
Sang pemilik toko berujar sampai harus mengganti nama usaha yang sudah dibangunnya sejak 2020 demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
“Karena kami takut juga nanti bernasib sama. Saya tidak mau hal itu terjadi. Terus juga pembakaran bal-bal itu sempat bikin saya pusing karena pasti nanti barang tidak masuk. Kalaupun nanti masuk, saya harus pikirkan harganya mau dikasih berapa,” tutur sang pemilik Bunga Thrift Store.
Ia juga mengatakan bahwa alasan yang dikemukakan pemerintah untuk melarang impor pakaian bekas sebenarnya cukup membingungkan. Mengapa hal tersebut baru digaungkan presiden sekarang?
“Setahuku thrift itu dari dulu sudah ada. Kalau memang membunuh UMKM seharusnya dari dulu peraturannya dibuat. Usaha thrift sebetulnya juga membantu. Saya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang. Thrift ini ada sendiri pasarnya karena ada yang suka pake dan ada juga yang tidak suka pake. Jadi tidak merugikan UMKM menurutku.”
Perihal pakaian bekas yang dianggap berdampak buruk terhadap kesehatan konsumen lantaran jadi sarang bakteri, selama menggeluti bisnis pakaian bekas dirinya tak pernah mendapatkan komplain dari pembeli terkait hal tersebut.
Ia menjamin kebersihan setiap pakaian yang dijualnya karena selalu mencucinya terlebih dahulu di laundry menggunakan air dan uap panas. Ampuh membunuh kuman yang ada dalam serat pakaian.
“Dari saya masih kecil, mamaku sering belikan saya baju thrift. Sampai sekarang saya tidak pernah kena penyakit kulit juga. Karena saya yakin, tidak mungkin orang beli baju cakar di pasar langsung dipakai. Pasti dicuci dulu,” tegasnya.
Tanggapan terkait pelarangan impor pakaian bekas yang kembali mengemuka datang pula dari Herlina, seorang penjual cakar alias pakaian bekas di Pasar Masomba.
Meski beberapa waktu lalu ada sejumlah barang yang tidak masuk, secara umum roda dagangan mereka belum terkena dampak signifikan.
"Kalau kami di sini tidak pengaruh yang bagaimana. Berita yang di televisi itu hanya di Jakarta saja. Di Palu tidak. Buktinya kami masih buka. Cuma memang kemarin agak susah bal masuk. Bosnya tidak ada yang bisa kami hubungi. Sekarang sudah mulai normal,” ungkap perempuan paruh baya ini kepada Tutura.Id (31/3).
Herlina menduga bahwa alasan kenapa pakaian bekas mendapat tindakan keras oleh pemerintah mungkin karena banderol harga jualnya di pasaran yang cukup fantastis.
"Mungkin kalau yang punya toko itu, kan, mereka beli barang terus harganya dikasih mahal sedikit. Tidak sama dengan harga yang kami jual. Tapi, mahalnya begitu mungkin karena sudah mereka cuci. Jadi siap pakai,” lanjutnya.
Pun demikian, Herlina berharap pemerintah memberikan kejelasan dan kepastian terkait aturan mengenai pakaian bekas impor. Pasalnya dari bisnis tersebut ia mendapatkan penghasilan utama.
"Kalau sampai sama sekali tidak diperbolehkan, kami mau cari uang di mana lagi? Bukan cuma saya, tapi sesama teman pedagang di sini juga. Jadi kami minta solusinya bagaimana nanti dari pemerintah," pungkas Herlina.
impor pakaian bekas thrift store thrifting pakaian cakar Permendag UMKM industri tekstil fast fashion