Hari Tani Nasional dirayakan saban 24 September. Perayaan itu merujuk pada momen penetapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diteken Presiden Soekarno 62 tahun silam.
Sabtu malam (24/9), sekelompok mahasiswa turut merayakan Hari Tani Nasional dengan nonton bareng dan diskusi di Taman Universitas Tadulako. Beberapa lembaga mahasiswa di lingkungan kampus Untad turut terlibat, antara lain BEM Faperta, BEM FISIP, dan BEM FKIP.
“Siapkah Sulawesi Tengah sebagai Lumbung Pangan dalam Menyongsong IKN?” Begitu tajuk besar diskusi dalam perayaan ini. Topik lumbung pangan memang sedang jadi buah bibir di kalangan elite Sulteng.
Pemerintah Provinsi Sulteng tengah menggenjot Kawasan Pangan Nasional (KPN). Satu yang paling sering disebut ialah pembangunannya di wilayah Dampelas, Donggala yang melibatkan luas lahan lebih dari seribuan hektare.
Richard Labiro, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untad yang tampil sebagai salah satu pembicara, melempar kritik terhadap plan KPN. Richard mengaku ragu bila proyek tersebut akan membawa kesejahteraan bagi petani kecil.
Proyek ini butuh alih fungsi lahan, yang dalam kacamata Richard, bisa memantik perkara bila tanpa pelibatan warga. Alih fungsi lahan juga bisa membawa ketimpangan sosial ekonomi. Pasalnya, lahan yang semula kecil akan menjadi besar lagi terpusat.
“Hal tersebut tentu akan membuat alat produksi dan hasil komoditi turut terkonsentrasi pada segelintir orang atau entitas tertentu. Masalahya, (bagi petani kecil) ialah modal jadi tidak berimbang,” ujar Richard.
Ketakutan Richard bukan tanpa alasan. WALHI Sulteng pernah bikin survei lapangan di Desa Talaga, yang masuk wilayah Dampelas dan bakal jadi area KPN. Survei itu menemukan bahwa belum ada informasi nama-nama petani yang bakal terlibat dalam proyek tersebut. Hanya ada angka bulat 400 petani, tanpa nama.
Adapun pemerintah di atas kertas berkeinginan mendorong terbentuknya korporasi-korporasi petani untuk mengelola lahan macam ini. Namun, dalam proyek food estate di daerah lain, lahan lebih banyak dikerjakan oleh perusahaan swasta besar. Di Sumatera Utara, perusahaan seperti Indofood dan Calbee Wings turut terlibat pembukaan lahan.
Medio April 2022, WALHI Nasional menyebut pengabaian kepada petani jadi masalah utama food estate. Komunitas Masyarakat Adat dan warga lokal lebih sering diabaikan. "Subyek proyek bukanlah para petani kecil," tulis organisasi non-pemerintah bidang lingkungan itu.
Problem petani lokal
Merujuk data Badan Pusat Statistik, petani mendominasi sektor tenaga kerja informal di Sulteng. Tiga tahun terakhir persentasenya cenderung naik 89,25 persen (2019), 93,00 persen (2020), dan 93,47 persen (2021).
Meski naik, pelbagai masalah dasar masih menimpa para petani. Setidaknya begitu curahan hati Moh. Reinal (31), petani muda dari Labuan Panimba, Labuan, Dongala. Reinal lempar keluh soal sulitnya akses terhadap modal. Imbasnya terjadi keterbatasan untuk katakanlah membeli obat bagi tanaman dan hal-hal lain.
“Belum lagi harga hasil tani yang berupa jagung dan sayur-sayuran terkadang naik-turun. Cuaca juga susah ditebak, ini juga mempengaruhi panen,” katanya, saat berbicara dalam forum diskusi Hari Tani Nasional di Taman Untad.
Perkara konflik lahan juga jadi satu masalah serius yang terbersit dalam diskusi. Beberapa waktu terakhir, sejumlah konflik yang melibatkan perusahaan dan warga terjadi di Sulteng.
Untuk menyebut contoh, di Parimo ada tambang emas PT Trio Kencana yang memegang konsesi 15.725 hektar. Masalahnya, area konsesi itu tumpang tindih dengan lahan permukiman, pertanian, dan perkebunan milik warga.
Contoh lain terjadi di Poso, lewat aktivitas PT Poso Energy, perusahaan setrum dalam jejaring bisnis mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Imbas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso Energy membuat banyak lahan pertanian warga terendam air luapan Danau Poso.
Adapun diskusi juga dilengkapi dengan pemutaran film “Limbung Pangan", film keempat dari serial DEMI 1% hasil kolaborasi Greenpeace Indonesia, Fraksi Rakyat Indonesia, Bersihkan Indonesia, dan Watchdoc. Film fokumenter itu menceritakan dampak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) terhadap industri pertanian.