Jafar G Bua dan jalan pedang menjadi wartawan
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 27 Oktober 2023 - 18:38
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Jafar G Bua dan jalan pedang menjadi wartawan
Jafar G Bua saat menandatangani buku Poso di Balik Operasi Madago Raya (Foto: Mughni Mayah/Tutura.Id)

Menjadi wartawan itu berat, tidak semua orang kuat. Ada berbagai rintangan di luar perencanaan yang tiba-tiba muncul di lapangan. Terlebih jika bertugas di palagan atau daerah tempat konflik bersenjata.

Tak percaya? Coba tanyakan pengalaman Jafar G Bua selama meliput di Poso. Sosok yang terlahir di Parigi, 15 November 1974, sudah malang melintang menekuni dunia jurnalisme selama 27 tahun terakhir.

Saat bertugas, ia pernah bersemuka dengan pasukan bersenjata Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jama’ah pimpinan Ja'far Umar Thalib. Satu truk pasukan bersenjata itu mengusirnya di halaman Masjid Darussalam Poso ketika meliput bersama Insight TV London pada 2001.

Jafar yang kala itu sedang membersamai tiga wartawan asing dituding membawa orang kafir menginjak tempat yang disebut kelompok tersebut wilayah suci.

Pengusiran serupa kembali didapatkannya saat hendak mengunjungi lokasi perkuburan massal korban kerusuhan Poso. Satu laskar bersenjata tiba-tiba mencegat langkah mereka dan meminta untuk segera meninggalkan lokasi tersebut.

“Saya juga pernah mengalami kekerasan saat seorang menaiki mobil di lapangan bekas lapangan terbang di Poso. Orang-orang berjaga di jalanan menggunakan tombak. Itulah gambaran Poso sejak kerusuhan 1998 silam,” kenang Jafar saat dihubungi Tutura.Id via Whatsapp, Kamis (26/10/2023).

Beberapa peristiwa tadi hanya segelintir perjalanan Jafar saat liputan di Poso yang kala itu masih rawan konflik bersenjata. Sejak pecah kerusuhan pertama pada 1998 hingga berlarut sekian tahun berselang, ia aktif menulis rentetan kejadian yang terjadi di sana.

Catatan perisitiwa kerusuhan Poso hingga situasinya yang kini telah kondusif termaktub dalam buku berjudul Poso di Balik Operasi Madago Raya. Peluncuran buku terbitan Red & White Publishing ini berlangsung di Best Western Plus Coco, Jl. Basuki Rahmat, Birobuli Utara, Palu Selatan, Selasa (22/10) malam.

Jafar G Bua berpose di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang (Sumber: instagram.com/gumamaradika)

Awal menjadi wartawan

Jafar dengan basis pendidikan mahasiswa Fakultas Pertanian di Universitas Tadulako, Palu, menjadi wartawan di surat kabar Alkhairaat sejak 1996.

Saat bentrok sosial pecah pertama kali di Poso pada 1998, Jafar yang kala itu berumur 26 tahun  sudah bertugas mengulik segala informasi terkait konflik.

Isu tersebut ditekuninya hingga usai pada 2023 seturut penerbitan buku Poso di Balik Operasi Madago Raya.

Ketika jagat media daring alias online mulai merebak di Indonesia akhir dekade 90-an, Jafar bergabung dengan berpolitik.com pada 1999.

Seturut pembentukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak 1994, menyusul kemudian deklarasi berdirinya AJI Palu pada awal 1998, Jafar memutuskan bergabung di dalamnya.

Namanya tercatat sebagai ketua AJI Palu periode 2001-2004 menggantikan Maxi Wolor yang menjabat ketua pertama.

Perjalanannya berlabuh dari satu media ke media lainnya juga terus berlanjut. Jafar pernah bergabung di majalah cetak Forum Keadilan, lalu ganti haluan lagi ke detik.com selama dua tahun, setelah itu menyeberang ke Trans Media, dan berakhir di CNN Indonesia sebagai produser lapangan hingga memutuskan purna pada 12 Oktober 2023.

Selama berkarier di dunia jurnalistik, Jafar turut pula mengenyam program beasiswa pendidikan, semisal Pendidikan Jurnalis TV dari FISIP, Universitas Indonesia (2004); Beasiswa Jurnalisme Penyiaran di Ohio University, Athens, Ohio, AS (2007); dan Program Asia Journalism Fellowship di Institute of Policy Studies di National University of Singapore, Singapura (2019).

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Mohammad Jafar Bua (@gumamaradika)

Risiko meliput di daerah konflik

Saat menjadi narasumber wawancara tatap muka dalam kegiatan Uji Kompetensi Wartawan yang berlangsung di Swiss-Belhotel, Silae, Palu, Agustus silam, Jafar membagikan pengalamannya meliput di wilayah konflik.

Ia menitip pesan kepada para wartawan muda agar lebih mementingkan sisi humanisme kepada korban kekerasan di tengah kecamuk pertikaian. Jangan hanya mencatat hal-hal berdarah atau tangisan korban.

Selama meliput di daerah yang rawan bentrokan, seorang wartawan alias jurnalis akan menghadapi situasi dan kondisi yang tidak mudah, mulai dari dianggap mata-mata, mendapat intimidasi, bahkan risiko mengalami tindakan kekerasan.

Oleh karena itu, Jafar menuturkan pentingnya membangun relasi personal dengan masing-masing pihak yang bertikai.

Dicontohkannya saat meliput kerusuhan di Poso yang kala itu terpecah menjadi Kelompok Merah (Kristen), Kelompok Putih (Islam), dan pihak aparat keamanan TNI-Polri.

Hubungan akrabnya dengan Rinaldy Damanik, pendeta dan mantan Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang ikut menandatangani Deklarasi Malino, sangat membantunya selama peliputan.

Jafar juga memiliki kedekatan dengan Ustadz Adnan Arsal selaku Ketua Forum Silaturahmi Perjuangan Umat Islam Poso. Selain itu, ia pernah mewawancarai Suwarni, istri Santoso—pimpinan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) yang jadi incaran polisi kala itu.

Walaupun pengalaman liputannya kerap penuh risiko berbahaya, Jafar sekali menegaskan prinsipnya selama ini bahwa tak ada berita yang seharga nyawa.

Memasuki usia yang kini merambat hampir menyentuh setengah abad, pria yang satu ini lebih senang dapat sebutan pencatat sejarah.

Berbagai catatannya bisa diikuti melalui beberapa judul buku yang telah ia tulis, antara lain Longki Djanggola, Jaket Kuningku, Benih Cinta dan Politik (2021), Tadulako: dari Mitos ke Realitas (2021), Setahun di Kongo: Penugasan Tentara Wanita di Misi PBB (2023), dan yang terbaru Poso di Balik Operasi Madago Raya.

Namanya juga tergurat dalam penulisan buku Karavea: Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala, Cintaku Tertinggal di Malagayneri, Bara Api di Timur Celebes, dan 411 (Catatan Penugasan Batalyon 441) di Kenyam, Papua.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
0
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Ruang baca inklusif untuk mengatrol minat baca
Ruang baca inklusif untuk mengatrol minat baca
Menghadirkan ruang baca yang mudah diakses warga jadi salah satu cara meningkatkan rendahnya minat baca.…
TUTURA.ID - Menjawab isu penutupan toko buku Gramedia Palu
Menjawab isu penutupan toko buku Gramedia Palu
Toko buku Gramedia Palu mengadakan promo cuci gudang. Ribuan judul buku mendapat diskon besar. Benarkah…
TUTURA.ID - Cerita perempuan penulis merawat memori kearifan lokal di Sulteng dengan buku
Cerita perempuan penulis merawat memori kearifan lokal di Sulteng dengan buku
Meisya Trianur, Ikerniaty Sandili, dan Mardatillah berbagi sudut pandang tentang dunia kepenulisan di Sulteng. Kepiawaian…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng