"Piiip-piiip-piiip." Suara klakson saling bersahutan. Mengiringi lalu-lalang kendaraan bermotor yang melintasi jalanan. Beradu dengan ramai pejalan kaki yang melewati para pedagang di pinggir jalan.
Riuh suasana tadi jadi pemandangan yang biasa terjadi saban mendatangi Pasar Sentral Inpres Manonda, Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Termasuk ketika saya memutuskan datang lagi pada Selasa (19/12/2023), sekira pukul 08.50 Wita.
Kali ini kedatangan saya bukan hendak berbelanja, tapi mengamati beberapa kusir dokar yang kukuh bertahan dengan profesinya. Mereka enggan tergilas begitu saja oleh roda zaman yang menggelinding cepat.
Tempat mangkal dokar-dokar ini cukup strategis. Tak jauh dari tiang lampu yang berdiri tepat di tengah jalan yang menghubungkan antara Jalan Bayam, Jalan Jamur, dan Jalan Cempedak. Posisi sentral yang selalu ramai orang-orang berseliweran.
Lalu seorang perempuan paruh baya yang menenteng tas berisi belanjaan menghampiri salah satu dokar.
Pak kusir cekatan mengangkat tas belanjaan tadi ke atas dokar diikuti sang penumpang. Kemudi tali kuda ditarik dan dokar coba bergerak pelan menjauhi kerumunan di tengah pasar.
Meski berdesakan, dokar tak sedikit pun menyenggol kendaraan-kendaraan lain yang melintas di sampingnya. Trayeknya kali itu menyusuri Jalan Jamur, lalu berbelok menuju ke Jalan Sungai Manonda yang jaraknya sekitar satu kilometer.
Namanya Basri, umurnya sudah menginjak 73 tahun. Pun demikian, ia masih telaten menekuni profesinya sebagai kusir dokar.
Saban hari ia menarik dokar mulai pukul 07.00 hingga 11.00 Wita. Hari itu Basri, satu dari empat kusir lain yang tetap bertahan mangkal di Pasar Manonda hingga hari ini, mengenakan kemeja batik lengan panjang berpadu celana puntung.
Penumpang yang barusan diantarnya ke Jalan Sungai Manonda tadi merupakan yang ketiga hari itu. Rute tujuan pengantarannya paling sering menuju arah Kelurahan Nunu dan Boyaoge, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Untuk sekali jalan, ia pasang tarif Rp10 ribu hingga Rp20 ribu-an, tergantung jarak lokasi tujuan.
Menjadi kusir dokar di tengah membanjirnya pilihan transportasi umum terang tak mudah. Pendapatan jadi menyusut dan serba tak menentu. Ia sudah sangat bersyukur jika bisa mengantongi Rp60 ribu setiap pulang dari hasil menjadi sais dokar.
"Jarang (dapat penumpang, red.), karena sudah banyak motor. Orang-orang banyak naik motor, naik mobil," katanya kepada saya ketika sedang berisitirahat.
Basri mengaku telah melakoni profesi sebagai kusir dokar sejak masih bujangan. Kala itu ia belajar mengendalikan dokar milik orang lain.
Sambil menerawang ia menyebut sudah lebih dari separuh usianya bekerja sebagai juru kemudi dokar.
Artinya sudah lebih dari empat dekade pula Basri telaten dengan kebiasaan merawat kondisi dokar dan memberi makan kuda.
Sesekali ia memandikan kudanya dan membersihkan tapalnya. Biasanya itu ia lakukan setelah pulang ke rumah sehabis mengantarkan seluruh penumpang.
Andalannya kali ini seekor kuda betina berumur empat tahun. Kulitnya cokelat tua.
Pria yang telah melewati usia paruh baya itu tampak senang hati membagikan kisah-kisahnya sembari menanti datangnya penumpang. Mencerocos setiap pertanyaan yang saya lontarkan kepadanya.
Selain menjadi kusir, Basri juga menyambi sebagai anggota padat karya alias petugas kebersihan. Selama dua jam saya mengikuti aktivitasnya, sudah empat penumpang silih berganti ia antar.
Ternyata dokar masih jadi moda transportasi pilihan sebagian orang, walau jumlahnya surut jauh dibandingkan dekade 90-an hingga awal 2000-an.
Rata-rata penumpang yang menaiki dokar Basri sepanjang saya mengikutinya berumur lebih dari 50 tahun. Agaknya dokar tak masuk dalam lis moda transportasi pilihan generasi Z.
"Saya ini kurang tahu naik motor, cuma dibonceng saja. Masih sering naik dokar," jawab Aisyah (56), salah satu penumpang Basri, soal alasan masih memilih dokar sebagai alat transportasinya.
Moda transportasi jadul yang sudah hadir di Kota Palu sejak 1950-an itu cukup memberi warna tersendiri di jalanan. Meski jumlahnya makin berkurang dan tersisihkan, masih ada beberapa orang yang bersetia menjadikannya pekerjaan.
Selain di Pasar Manonda, beberapa kusir dokar juga masih bisa kita temukan mangkal di depan Pasar Masomba, Tatura Utara, Palu Selatan.
Terasa kontras dengan pemandangan di sekitar Pasar Tua alias Pasar Bambaru, Kelurahan Baru, Palu Barat, yang kini sudah tidak menyisakan lagi jejeran dokar mangkal menantikan penumpang.
Bersaing di era menjamurnya moda transportasi hari ini jelas bukan perkara gampang.
Tak heran jika banyak yang dahulu berprofesi sebagai kusir telah beralih profesi. Mereka yang terus bertahan, wabilkhusus di kota-kota lain, coba menyiasatinya dengan beralih menjadikan dokar sebagai transportasi wisata.
Upaya tersebut demi menjaga eksistensi dokar alias delman agar tidak punah.