Belasan tenda mulai terpasang di halaman Kantor Wali Kota Palu, Selasa (26/9/2023). Sebuah panggung besar untuk pertunjukan juga sudah berdiri. Bahkan, sehari sebelumnya, jalan di seputaran Taman Vatulemo mulai ditutup aksesnya untuk umum.
Tiga hal ini jadi penanda adanya perayaan besar di Kota Palu. Maklum, 27 September saban tahun berganti selalu diperingati sebagai hari lahirnya Kota Palu.
Tahun ini, Kota Palu merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-45. Umur yang terbilang muda bagi daerah yang sebenarnya peradabannya jauh lebih tua.
Bagi Pemerintah Kota (Pemkot) Palu dan kebanyakan orang, kelahiran ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah ini merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) 18/1978 tentang Pembentukan Kota Administratif Palu.
Namun, penetapan 27 September sebagai penanda lahirnya Kota Palu agaknya masih menyisakan silang pendapat.
Pasalnya, dalam regulasi yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto dan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono justru bertarikh 1 Juli 1978.
Artinya, seremoni HUT Kota Palu semestinya diperingati setiap 1 Juli tahun berjalan alih-alih 27 September, sebagaimana legitimasi dari pemerintah pusat.
Lantas, dari mana asal-usul penetapan 27 September sebagai HUT Kota Palu?
Dalam potret lawas yang diunggah akun Facebook @historiasulteng (7/9/2020), menampilkan sosok Kiesman Abdullah yang dilantik sebagai wali kota administratif Palu pada 27 September 1978.
Sesuai peristiwa ini, logika “hari ulang tahun” atau “hari lahir” sangat berbenturan dengan “pelantikan”.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ulang tahun atau hari lahir bermakna sebagai hari ketika peristiwa penting terjadi. Sementara, pelantikan bermaksud sebagai sebuah proses atau upacara melantik.
Sebagai sebuah histori, keduanya merupakan peristiwa penting, tetapi punya konteks berbeda.
Momentum 1 Juli 1978 adalah penetapan Kota Palu secara administratif, sedangkan 27 September 1978 sebagai waktu pelantikan Kiesman Abdullah.
Artinya, sama saja dengan kita memperingati “Hari Pelantikan Kiesman Abdullah sebagai Wali Kota Administratif Palu yang pertama”.
59, 71, 73, 227, 230, atau 417 tahun?
Jamrin Abubakar dan Jafar Bua, dua wartawan senior cum penulis kenamaan Sulteng pernah menggugat soal “Usia Kota Palu” ini dalam dua tulisan berbeda, tetapi punya bunyi yang senada.
Jamrin Abubakar dalam tulisannya di Kompasiana.com (1/10/2010) berjudul “Menggugat Peringatan HUT Kota Palu” menyebut, sebetulnya kota ini (Palu, red) jauh lebih tua dari usianya yang selalu diperingati setiap 27 September.
Sementara Jafar Bua lebih kritis lagi. Dalam tulisan opini dengan tajuk “Berapa Usia Kota Palu: 42 Tahun, 70 Tahun, 224 Tahun, atau 227 Tahun” yang dimuat Harian Mercusuar (27/9/2020), Jafar merasa janggal dengan penetapan 27 September sebagai HUT Kota Palu.
Alasannya karena saat Sulawesi Tengah belum diputuskan menjadi provinsi, Palu telah eksis jadi sebuah kota.
Jafar berpendapat jika Kota Palu sebenarnya telah ada jauh sebelum 1 Juli dan 27 September 1978.
Opini Jafar didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) 13/1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara.
Dalam keputusan yang ditandatangani oleh Pd. Presiden Dr. Subandrio dan Sekretaris Negara Mohd. Ichsan bertarikh 23 September 1964, disebutkan jika Pemerintah Daerah Tingkat I Sulteng berkedudukan di Palu. Hal ini berarti, Palu telah berusia sekitar 59 tahun atau mungkin lebih dari itu.
Alasan ini terbilang masuk akal. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 33/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Tengah dan Pembagian Wilayahnya Dalam Daerah-Daerah Swatantra, Palu justru menjadi kedudukan daerah administratif Donggala. Itu tandanya, Palu telah eksis sejak 71 tahun silam.
Peristiwa penting lainnya bisa jadi penanda hari jadi Kota Palu, boleh juga dilihat ketika Tjatjo Ijazah, raja atau magau terakhir Palu yang mendeklarasikan Kerajaan Palu bersama Kerajaan Kulawi, dan Kerajaan Sigi-Dolo bergabung ke dalam NKRI pada 5 Mei 1950 alias 73 tahun lalu.
Catatan paling tua soal peradaban di Palu juga dijelaskan oleh Nurdin, Hasrul Maddini, Muh. Isnaeni Muhidin, dan Ismail Syawal.
Nurdin dan Harsul Maddini dalam buku Sejarah Datokarama (Abdullah Raqie): Ulama Pembawa Islam Dari Minangkabau Ke Sulawesi Tengah (2018). Dua pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu ini menyitir catatan Adriani dan Kruijt (1912).
Dalam tulisannya disebutkan, bahwa Datokarama tiba di Lembah Paloe (Palu) disambut oleh Raja Palu Pue Nggari.
Pue I Nggari merupakan raja pertama Palu yang berkuasa antara tahun 1796-1805. Bila merujuk kepemimpinan seperti pelantikan 27 September 1978, tentunya Palu sudah berusia 227 tahun.
Dalam tulisan Jafar, Muh. Isnaeni Muhidin yang merupakan pendiri Perpustakaan Nemu Buku dan pegiat literasi bahkan mengisyaratkan jika sebetulnya Palu telah dikenal sejak ratusan tahun silam.
Neni – sapaan karib Muh. Isnaeni Muhidin – berangkat dari tulisan David Woodard dan William Vaughan berjudul The Narrative of Captain David Woodard and Four Seamen yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1805 di London, Inggris.
Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Kisah Petualangan David Woodard terbitan Nemu Publishing tahun 2022.
Dalam sketsa peta Pulau Sulawesi yang berhasil dibuat oleh David Woodard selama pelayaran antara tahun 1793-1795, beberapa daerah lokal di Sulteng berhasil diindetifikasi, mulai dari Parlow (Palu), Dunggaly (Donggala), Travalla (Towale), Priggy (Parigi), dan masih banyak lagi.
Dalam pelayaran itu, Woodard bersama krunya terdampar dan ditawan di wilayah Travalla (Towale). Mereka lalu diarak dari Dunggaly (Donggala) menuju Parlow (Palu).
Saat itu, Donggala dan Palu terpisah menjadi dua kerajaan berbeda. Woodard menyebut Raja Palu dengan nama Tommy Ganjoo.
Tommy Ganjoo tak lain ialah Toma I Genjo atau Malasigi Bulupalo yang juga dikenal dengan panggilan Pue Bongo.
Selama berada di Parlow (Palu), David melihat permukiman sekitar 500 rumah dengan aneka tumbuhan dan ternak.
Dari catatan pelayaran David Woodard ini, kita boleh bersepakat dengan Neni. Artinya, peradaban di Palu sudah ada selama 230 tahun.
Tulisan lain soal eksistensi Palu juga termuat dalam jurnal berjudul “Syekh Abdullah Raqie: Orang Minangkabau Penyebar Islam di Palu Pada Abad XVII” (2019) yang ditulis oleh Ismail Syawal.
Menyitir buku yang ditulis Eija-Maija Kotilainen (1992) dengan terjemahan bahasa Indonesia Ketika Tulang Belulang Tertinggal: Kajian Budaya Material Sulawesi Tengah, Ismail menuturkan jika Datokarama tiba di Palu pada tahun 1606 dan menjadi orang yang pertama kali mengajarkan agama Islam di Palu. Yang artinya, Palu telah ada sedari 417 tahun.
Lihat postingan ini di Instagram
Pro dan kontra soal usia Kota Palu ini bukannya tanpa solusi. Jamrin dan Jafar bilang bahwa pernah ada seminar khusus sekitar tahun 1990-an yang membahas soal ini.
Hanya saja, sejumlah peristiwa penting di atas yang selalu mengemuka di antara sejarawan dan kalangan tokoh masyarakat tak menemui kata sepakat.
Dus, peringatan HUT Kota Palu kembali diperingati setiap 27 September tahun bergulir.
Acara HUT ke-45 Kota Palu sudah disiapkan dengan 26 item agenda selama 27-28 September 2023, tak mungkin lagi diubah.