
Alat musik kakula atau kerap disebut "kakula nuada" dalam Bahasa Kaili merupakan warisan budaya tak benda Indonesia dari Sulawesi Tengah. Khususnya budaya tradisional khas "To Kaili" alias Suku Kaili yang mayoritas mendiami Lembah Palu.
Bentuknya yang hampir menyerupai bonang, alat musik tradisional Jawa, memiliki suara khas yang dihasilkan dari tujuh buah gong kecil disusun secara berderet dalam satu baris penampang.
Kakula memiliki fungsi sebagai media komunikasi, hiburan, atau media tradisional untuk mengiringi acara-acara dalam tradisi suku Kaili.
Menilik asal muasalnya, menyadur jurnal musik berjudul "Kakula: Musik Asli Orang Kaili?" karya Amin Abdullah yang terbit 2011, kakula adalah instrumen hasil inkulturaktif antara budaya Islam dan budaya Kaili.
Sebagian orang Kaili berdasarkan memori kolektif meyakini bahwa kakula mempunyai hubungan dengan masuknya Islam di Tanah Kaili pada abad ke-17, melalui seorang penyebar Islam dari Sumatera Barat bernama Abdullah Raqie.
Mubalig bergelar sebagai Dato Karama ini dikisahkan memberi hadiah kepada Pue Njidi, Raja Kaili saat itu, berupa seperangkat ansambel kakula dan panji orang-orangan sebagai tanda persahabatan.
Seiring berkembangnya zaman yang diikuti perubahan tren musik kiwari, segenap usaha dilakukan demi tetap menjaga gaung bunyi instrumen musik kakula di tengah masyarakat.
Beberapa seniman muda Kota Palu, misalnya, melestarikan penggunaan kakula dalam ramuan musik populer yang mereka mainkan.
Musik dengan nuansa kakula jelas terdengar dalam karya-karya Saillibow—kerap ditulis Salibow—Ensamble. Kelompok musik yang terbentuk sejak 2008 ini masih bersetia menyumbangkan kontribusinya dalam upaya melestarikan budaya leluhur bangsa Kaili.
Kumpulan pemusik ini mengombinasikan penggunaan instrumen musik tradisional kakula yang bertitilaras pentatonik dengan aneka instrumen modern yang menggunakan tangga nada diatonik.
Pun demikian, kelompok ini tak jarang menggunakan kakula digital yang bertitilaras diatonik menyesuaikan kebutuhan akor lagu. "Artinya kami menggabungkan kakula yang sifatnya digital dan kakula yang organik. Sebenarnya agar bisa diterima di kalangan-kalangan populer hari ini," urai Juli Idin Lanja selaku komposer Saillibow Ensamble kepada Tutura.Id (19/10/2023).
Hingga hari ini Saillibow Ensamble telah menghasilkan banyak karya. Salah satu yang paling populer berjudul "Patampasu". Lagu yang termaktub dalam album kompilasi Palu Perlu (rilis 2016) ini berkisah tentang keindahan dan keberagaman budaya Kota Palu.
"Fungsinya (lagu ini), kan, membangun silaturahmi dan mencerminkan identitas daerah. Makanya saya bikin karya yang menceritakan keindahan keberagaman budaya," pungkas Juli.

Eksistensi kakula juga hadir dalam ramuan musik The Box. Salah satu band musik berbasis di Palu ini menjadikan suara musik kakula sebagai ciri khasnya. "Kalau tidak ada kakulanya di dalam berarti bukan The Box. Jadi, itu sudah jadi ciri khasnya," jelas Arif Rivaldy, pemukul kakula dan peniup lalove dari kelompok The Box (21/10).
Band musik ini sejak berdiri 2008 telah mantap mengusung genre "rock etnik" saban penampilannya. Ada perpaduan antara warna musik rock yang cadas dengan sematan musik tradisional sebagai representasi budaya Kaili.
Arif menyebut ikhtiar melestarikan kakula tak sekadar sebatas pada bunyinya, melainkan juga fisik kakula sebagai alat musik yang dimainkannya. Menurutnya, itu menjadi kekhawatiran akan eksistensi alat musik kakula bagi generasi berikutnya.
"Kenapa saya masih mempertahankan alat musik kakula sampai sekarang ini, karena takutnya nanti anak cucu kita mungkin tiga puluh atau empat puluh tahun ke depan mereka hanya tahu bunyi kakula, tapi tidak tahu bagaimana bentuknya," jelasnya.
View this post on Instagram
Muhammad Herianto selaku Ketua Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST) saat dihubungi Tutura.Id (21/10), menyebut bahwa ikhtiar para musisi muda Kota Palu dalam melestarikan kakula harus mendapat apresiasi.
Dia menilai kelestarian warisan budaya perlu menjadi atensi seluruh pihak. Terlepas dari bagaimana cara setiap orang mengorientasikannya dalam sebuah karya di masa kini.
Menurutnya, ikhtiar tersebut adalah suatu hal yang patut kita syukuri. Bahwa masih ada pihak-pihak yang setia menjadi garda terdepan dalam mempertahankan eksistensi peninggalan budaya leluhur. "Disesuaikan dengan kekinian bagus juga, tapi harus pada penempatannya," sarannya.

