Mengenal lebih dekat ''Negeri Seribu Megalit''
Penulis: Mughni Mayah | Publikasi: 12 Juli 2023 - 21:48
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Mengenal lebih dekat ''Negeri Seribu Megalit''
Patung peninggalan zaman megalitikum di Situs Pokekea, Lore Lindu (Sumber: Wikimedia)

Megalit menjadi objek utama dari citra pariwisata Sulawesi Tengah (Sulteng) di masa depan.

Dinas Pariwisata Sulteng pun mengusung slogan “Negeri Seribu Megalit” sebagai jualan untuk menarik atensi para wisatawan datang berkunjung.

Kepala Dinas Pariwisata Sulteng Diah Agustiningsih dalam wawancaranya kepada Tutura.Id mengungkapkan, wisata megalit telah masuk dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPAR) Provinsi Sulawesi Tengah.

Menurut Diah, usia patung megalit tersebut berdasarkan hasil penelitian kurang lebih 3000 tahun Sebelum Masehi.

Namun, pesona ini belum dimanfaatkan sebagai potensi wisata. Mereka yang datang berkunjung hanya terbatas para peneliti.

Ada empat kawasan lembah di tiga kabupaten Sulteng yang selama ini menjadi ”taman bermain” para peneliti. Itu berlangsung sejak era penjajahan Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Kala itu ada Albertus Christian Kruyt dan Nicolas Adriani yang telah mendokumentasikan megalit dalam "Van Poso naar Parigi Een Lindoe". Di dalamnya menyebutkan beberapa tinggalan arkeologi di daerah Poso dan Danau Lindu.

Setelah kemerdekaan, dalam kurun waktu Tahun 1975-1976, Indonesia pertama kali melakukan penelitian peninggalan megalitik di Kawasan Lore Lindu. Tim ini dipimpin oleh Haris Sukendar yang berasal dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas). 

Gambar patung Palindo di Lembah Bada kemudian jadi salah satu Ikon Budaya Megalitik Indonesia dalam "Pameran Filateli internasional" di London, Inggris, pada tahun 1980.

Majalah National Geographic Indonesia, terbitan Oktober 2018, secara khusus menampilkan megalit di Sulteng sebagai laporan utama dan mengulasnya secara mendalam.

Laporan berjudul "Mencari Leluhur Sulawesi" menyebut Dwi Yani Yuniawati Umar alias Atik sebagai salah satu arkeolog Indonesia yang paling gandrung melakukan penelitian di kawasan ini.

Dituliskan bahwa penelitian yang dilakukan Atik dan kawan-kawan pada 2013 berhasil menemukan 1.466 megalit dari 83 situs.

Jumlah itu hanya mereka dapatkan di kawasan Lore yang mencakup Lembah Behoa, Bada, dan Napu, Kabupaten Poso.

Atik juga menemukan kronologi yang cukup tua dari tulang-tulang yang terkubur di Situs Wineki. Dari hasil penelitian berdasarkan penanggalan karbon, usia temuan itu sekitar tahun 2531-1416 SM.

Alhasil Situs Wineki jadi yang tertua di antara situs lain di lembah-lembah kawasan Lore Lindu. Temuan ini mirip dengan peninggalan di Lembah Mekhing (Laos) dan Assam (India). 

Makna sejarah yang terkandung dalam peninggalan zaman batu besar (megalitikum) di Sulteng jadi sumbangsih besar untuk ilmu pengetahuan dunia.

Badan PBB UNESCO sejak 2019 telah mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah untuk mempersiapkan kawasan Megalitik Lore Lindu dalam pengusulan menjadi Warisan Dunia (World Heritage) hingga tahun 2029.

Bagi yang masih awam, kami menyarikan letak situs-situs megalit yang tersebar mulai dari Lembah Palu, Napu, Behoa dan Bada.

Peninggalan zaman megalitikum berupa kalamba (Foto: Kholik/Shutterstock)

Lembah Palu

Adriani dan Kyrut telah menemukan sebuah lumpang batu besar di dekat Kampung Bora, Lembah Palu, pada 1898.

Penelitian selanjutnya berlangsung 1975. Tim pengumpulan data Masterplan menemukan lumpang-lumpang batu di Bangga, Vatunonju, Tulo, Dolo, dan Pevunu yang semuanya terletak di Kabupaten Donggala (sekarang Kabupaten Sigi). 

Lumpang-lumpang batu tersebut semuanya terbuat dari batu berwarna putih yang mengandung partikel-partikel kristal putih. Diperkirakan bahwa Vatunonju dulunya merupakan perkampungan kaum megalitikum. 

Hingga sekarang 12 buah lumpang batu di Desa Vatunonju tetap dipelihara dan dilindungi menjadi situs taman purbakala atau cagar budaya arkeologi.

Vatunonju atau biasa pula disebut Watunonju berada sekitar 30 kilometer sebelah selatan Kota Palu. Secara administrasi merupakan salah satu desa di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. 

Selain Vatununjo, di Desa Bangga yang masuk wilayah Kecamatan Dolo Selatan juga terdapat 15 buah lumpang batu. Bersamanya ditemukan pula kereweng alias pecahan benda yang terbuat dari tanah liat atau tembikar berhias pola tali. Ada juga kereweng polos tanpa pola. Lumpang batu juga ditemukan berada di Desa Tulo dan Desa Pevunu. Semuanya merupakan peninggalan megalit.

Lembah Napu

Berjarak sekitar 116 kilometer dari Kota Palu, Lembah Napu terletak pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut sehingga cuacanya jadi lebih sejuk sepanjang tahun. Lembah ini merupakan wilayah penyangga dari Taman Nasional Lore Lindu.

Menurut cerita rakyat yang dituturkan turun-temurun, dahulu Lembah Napu adalah danau luas. Sebutannya "Rani Raba". Setelah Rano Raba mengering dan menjadi permukiman penduduk, tersisa hingga saat ini danau kecil bernama "Rano Wanga". 

Warisan dari zaman megalitikum yang ditemukan di sekitar Danau Lindu berupa lumpang batu, monolit, menhir, dan peti kubur kayu. Majalah National Geographic Indonesia menuliskan, di Lembah Napu terdapat 17 situs megalitik di daerah cakupan Kabupaten Poso dengan luas sekitar 40.000 hektare.

Total 312 benda peninggalan zaman megalitikum yang ditemukan di Lembah Napu. Letak persebarannya ada di Kecamatan Lore Utara, Kecamatan Lore Timur, dan Kecamatan Lore Peore.

Patung Tadulako jadi salah satu daya tarik kunjungan ke Lembah Behoa (Foto: Raynton Rare'a/Shutterstock)

Lembah Behoa 

Lembah Behoa atau Besoa terletak 1200-1700 meter di atas permukaan laut. Jaraknya sekira 161 kilometer dari Kota Palu alias menghabiskan waktu lebih dari empat perjalanan dengan kendaraan bermotor.

Tempat ini paling banyak ditemukan peninggalan megalit. Jumlahnya 824 megalit yang tersebar di 33 situs.

Mungkin karena alasan itu pula daerah ini menjadi salah satu calon tuan rumah peluncuran program pariwisata “Negeri Seribu Megalit” oleh Pemerintah Provinasi Sulteng.

Koran Radar Sulteng sempat membuat seri tulisan berisi petualangan mencari megalit di Lembah Behoa bertajuk "Megalit Hunt" yang rilis pada 2017.

Situs Pokekea diulas utuh dalam satu tulisan mengingat keunggulan situs ini dibandingkan situs-situs lainnya yang ada di Lembah Behoa.  

Letak Situs Pokekea ada di Dusun Pendele, Desa Hanggira. Tak hanya peneliti yang sering mampir ke tempat ini, tapi juga orang awam.

Mereka biasanya mendirikan tenda untuk kemping sembari melihat kumpulan megalit yang cukup beragam.

Berdasarkan keterangan Juru Pelihara Situs Pokekea Sunardi Pokiro, ada 103 benda megalit yang tersebar di wilayah ini, mulai dari kalamba, tutup kalamba, arca batu, batu dakon, lumpang batu, meja altar, batu dulang, batu bergores, hingga gerabah kubur.

Sementara di situs lainnya penemuan benda megalit bisa dihitung dengan jari dan letaknya terpencar.

Misalnya, di Desa Lempe yang memiliki Situs Lempe, Situs Padang Hadoda, Situs Tovera, dan Situs Tundu Wanua.

Di Situs Lempe yang terletak di hutan dengan pepohonan yang masih rapat ditemukan patung megalit berupa ibu hamil.

Adapun peninggalan berupa patung Tadulako yang tersohor itu ada di Situs Tadulako yang berlokasi di Desa Bariri.

Tak jauh dari Situs Tadulako, ada Situs Padang Masoara yang memiliki megalit dengan pahatan wajah hewan.

Warga lokal memercayainya sebagai patung monyet. Bila beruntung di lokasi ini dapat menemukan anggrek macan.

Lembah Bada

Lembah yang berada di Kabupaten Poso ini jadi tempat mengalirnya Sungai Lariang yang menyatu dengan Sungai Malei. Daerahnya relatif datar yang dikelilingi perbukitan.

Tahun 2013, tercatat sebanyak 330 tamuan megalit tersebar di 33 situs yang ada di kawasan ini.

Selain patung Palindo yang kadung populer, temuan lainnya adalah kalamba (kubur batu), batu gores, wati baula, dan masih banyak lagi. 

Beberapa situs penting di lembah ini, antara lain Situs Suso yang memiliki kalamba berukuran raksasa sebagai daya tarik.

Ada pula arca dengan posisi tidur berukuran tinggi 175 centimeter dan lebar 76 centimeter. Memiliki pahatan laiknya anatomi manusia yang terdiri dari kepala, mata, hidung, telinga, dan tangan bersilang di bawah perut. 

Patung besar lainnya juga ditemukan di Desa Runde. Hanya saja bentuknya tidak menyerupai manusia, melainkan dipercaya sebagai patung kerbau. Letaknya ada di tengah sawah penduduk. 

Ada banyak situs megalit lain yang khas dan unik di Lembah Bada. Mereka tersebar di segala penjuru lembah, mulai dari kaki gunung, sawah, kebun warga, pekarangan rumah, hingga ada yang menjadi median jalan. 

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
9
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Novalina: Saya siap bekerja di bawah kepemimpinan Gubernur Rusdy Mastura
Novalina: Saya siap bekerja di bawah kepemimpinan Gubernur Rusdy Mastura
Pelantikan Novalina sebagai sekdaprov Sulteng diwarnai polemik. Gubernur Cudy menolak melantiknya. Novalina pun angkat suara…
TUTURA.ID - Ratusan ribu mahasiswa drop out; bidang ilmu apa paling banyak?
Ratusan ribu mahasiswa drop out; bidang ilmu apa paling banyak?
Kemendikbudristek menyebut ratusan ribu mahasiswa putus kuliah tiap tahun. Khusus Sulteng, lebih dari 10 ribu…
TUTURA.ID - Pembentukan Sekber Koalisi Indonesia Raya di Sulteng masih menunggu instruksi
Pembentukan Sekber Koalisi Indonesia Raya di Sulteng masih menunggu instruksi
Gerindra dan PKB sepakat bikin sekretariat bersama hingga level kabupaten dan kota. Bagaimana realisasinya di…
TUTURA.ID - Mengenal ulat sagu yang kaya nutrisi dalam makanan tradisional Sulawesi Tengah
Mengenal ulat sagu yang kaya nutrisi dalam makanan tradisional Sulawesi Tengah
Sempat viral karena menjadi bekal lauk siswa SD, ulat sagu lazim dikonsumsi sebagai lauk di…
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng