Membaca jejak kebencanaan dalam pameran Simpul Suaka
Penulis: Hermawan Akil | Publikasi: 5 November 2024 - 14:22
Bagikan ke:
TUTURA.ID - Membaca jejak kebencanaan dalam pameran Simpul Suaka
Para pengunjung pameran Simpul Suaka di Ruang Dualapan, Jalan Ki Hajar Dewantoro, Palu | Foto: Hermawan Akil/Tutura.Id

Masih dalam rangkaian festival seni budaya “Sintasloka: Living on a Fault Art Festival”, tiga seniman dengan beragam medium menggelar presentasi di ruang publik bertajuk “Simpul Suaka”. Irisannya masih dalam upaya terus merawat ingatan kolektif warga tentang kebencanaan.

Kehadiran Lala Bohang, Rifandi S. Nugroho, dan Sigisora sebagai seniman undangan yang dimaksud adalah bentuk pengulangan dari para pendahulu kita sudah lakukan.

Masa ketika transfer pengetahuan berlangsung menggunakan media seni yang mudah dipahami masyarakat kala itu. Contohnya kayori yang berupa lantunan syair-syair kuno berisi pengingat tentang adanya bencana alam.

Cara lainnya dengan penamaan suatu daerah berdasarkan kondisi ekologi, geologi, dan geografi sehingga bisa menjadi acuan mitigasi. Misalnya Kelurahan Balaroa yang dahulu bernama Tagari Lonjo. Artinya daerah yang tertanam dalam lumpur.

Usaha ini telah dilakukan sejak lama dan dengan cara turun-temurun namun memiliki kesan “eksklusif”, sebab pengetahuan seperti ini biasanya di tuturkan oleh orang tua ke anak, sebatas konsumsi domestik keluarga atau komunitas masyarakat sekitar.

Agar pengetahuan tentang kebencanaan tersebut lestari di kalangan generasi muda urban kekinian, Sintasloka mengadakan program Simpul Suaka. Pendekatannya melalui ajang pameran kontemporer yang berlangsung serentak mulai 1—5 November 2024.

Para pengunjung memperhatikan presentasi karya milik Lala Bohang di Nemu Buku | Sumber: Forum Sudutpandang

Topalu’e: Di Antara Langit dan Bumi

Pameran ini berlokasi di Nemu Buku, Jalan Tanjung Tururuka. Lala Bohang sebagai seniman yang melakukan residensi di lokasi ini menjelaskan “Topalu’e” memiliki makna tanah yang terangkat dari permukaan akibat adanya aktivitas tektonik.

Ia juga menambahkan posisi Palu yang terletak di tengah Indonesia, dilintasi garis khatulistiwa, dan menjadi titik pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia. Karena kondisinya yang demikian, tepat rasanya mengatakan Palu berada “Di Antara Langit dan Bumi”.

Mendapati fakta menggelisahkan tentang bencana yang sebenarnya terus mengalami pengulangan, Lala melakukan riset panjang hingga menghasilkan buku berjudul Kayori; Seni Merekam Bencana yang diterbitkan tahun 2021.

“Ada syair kayori yang benar-benar membicarakan bencana cukup detail. Saya langsung berpikir, kita manusia modern sibuk mencari pengetahuan dari negara barat. Sementara kita sebenarnya memiliki banyak pengetahuan tradisional dari leluhur,” kata Lala Bohang saat sesi gelar wicara berlangsung di pelataran Nemu Buku, Jumat (1/11) malam.

Lala mengisi residensinya di Nemu Buku dengan presentasi karya yang menawarkan semacam sebuah perjalanan kepada para pengunjung.

Ada ilustrasi di atas kertas daur ulang dan kain kulit kayu yang menempel di sisi kiri dan kanan dinding. Lalu di bagian tengah diisi instalasi berupa sebidang tanah yang ditumbuhi ilalang dengan posisi melayang menggunakan sling. Sementara di bagian bawahnya alias di lantai, ada sebuah monitor televisi berisi tayangan hasil wawancara tentang pengetahuan lokal tentang kebencanaan. Selain monitor televisi, ada juga bebatuan yang tergeletak di lantai.

Menuju ujung ruang pameran, pengunjung bisa memilih satu dari tiga lembar kertas yang masing-masing berisi ilustrasi dan teks tentang menelusuri peta memori di tubuhku, perjalanan untuk ibu-ibu yang buruk, dan mengumpulkan surat dari masa lalu.

Antusiasme pengunjung mengamati pameran "Belajar di Air Keruh" dalam program Simpul Suaka yang berlangsung di Ruang Dualapan, Jalan Ki Hajar Dewantoro, Palu | Sumber: Forum Sudutpandang

Belajar di Air Keruh; Catatan Mengenal Balaroa

Rifandi S. Nugroho berkolaborasi dengan Adrian Akbar Rifai, Adilla Lutfia, Yusran Rezky, dan Ari Wibowo yang merupakan mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Tadulako. Mereka menelusuri Kelurahan Balaroa yang kini telah kembali pada ekosistem alaminya yang tersusun dari semak belukar, tumbuh-tumbuhan, dan batuan granit yang mencuat ke permukaan.

Perjalanan yang dilakukan tanpa asumsi awal dan hanya ingin betul-betul mengenal kondisi lanskap pascabencana. Hasil temuan di lapangan dipetakan kembali dengan metode pemetaan personal.

Berbekal pengetahuan arsitekturnya, Rifandi bersama para kolaborator menggambar kembali Balaroa dalam bentuk peta kata-kata, diagram hubungan, dan visual tumpuk.

“Pemetaannya lebih personal. Kalau disiplin ilmunya praktik spasial menggabungkan arsitektur, seni, antropologi, dan sebagainya,” ujar Rifandi saat gelar wicara berlangsung di Ruang Dualapan, Jalan Ki Hajar Dewantoro, Sabtu (2/11) malam.

Merujuk peta geologi Lembah Palu pada 1973, Balaroa merupakan wilayah yang dilalui lempeng tektonik, sungai purba, dan mengandung lapisan tanah aluvial yang terbentuk dari endapan halus aliran sungai. Tanahnya yang mengandung sekitar 50% pasir menjadikannya cenderung lunak.

Pameran ini juga menyajikan instalasi tanah yang ditumbuhi beragam tumbuhan hasil dari perjalanan di Balaroa. Ada pula kalender bencana dan ilustrasi yang terpasang rapi di dinding ruangan.

Selain medium audio, kolektif Sigisora juga mengisi ruangan di SubPlaza Indonesia dengan beberapa dokumentasi foto | Foto: Akil Hermawan/Tutura.Id

Listening to Daily Sound

Luber, Wahyu, dan Helmi yang tergabung dalam kolektif Sigisora bergiat untuk menangkap bunyi dari kumpulan suara dalam suatu lingkungan alias soudscape. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Raymond Murray Schafer (1933—2021), seorang komposer asal Kanada.

Pameran karya Sigisora berlangsung di Sub Plaza Indonesia, Jalan Sam Ratulangi, Besusu. “Soundscape di Indonesia memang memiliki layer yang berlapis. Penuh dengan kebisingan atau noise. Berbeda seperti di barat yang memiliki kesan bersih,” tutur Helmi.

Oleh karena itu, mereka yang cenderung terbiasa menikmati suasana hening di lingkungan sekitarnya mungkin akan menganggap soundscape di Indonesia sebagai gangguan. Bising. Sementara kita menganggap kebisingan tersebut bukanlah sebuah gangguan.

Lantaran tak punya cukup banyak waktu di Palu, Sigisora datang dengan mempresentasikan hasil temuan bunyi terkait air dan pengetahuan air lokal di Kalibata Pulo (DKI Jakarta) dan Rongsot (Lombok Utara). Turut dipamerkan pula beberapa dokumentasi foto.

Melalui temuannya dalam dua komunitas warga tersebut, Sigisora ingin akan mengajak para pengunjung mendengarkan bunyi air dan membayangkan bagaimana pendengaran akan berubah di masa depan akibat perubahan iklim.

Pun demikian, Sigisora tetap mendokumentasikan beberapa soundscape di Palu melalui Sigisora's Sound Journal. Hasilnya bisa didengarkan via Instagram.

Bagaimana perasaanmu setelah membaca artikel ini?
Suka
0
Jatuh cinta
1
Lucu
0
Sedih
0
Kaget
0
Marah
0
Mungkin tertarik
TUTURA.ID - Empat kebudayaan Sulteng ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Empat kebudayaan Sulteng ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Kebudayaan Sulteng yang jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia kian bertambah lisnya. Ada empat produk…
TUTURA.ID - Aksi nyata mitigasi krisis iklim dua remaja Sulteng
Aksi nyata mitigasi krisis iklim dua remaja Sulteng
Rahmi dan Riziq akan mewakili Sulteng berbicara di depan perwakilan G7 tentang dampak krisis iklim…
TUTURA.ID - Menutup pameran Rasi Batu dengan antusiasme
Menutup pameran Rasi Batu dengan antusiasme
Pameran seni "Rasi Batu: Residensi Seribu Megalit" akhirnya tuntas setelah melewati 21 hari penyelenggaraan. Animo…
TUTURA.ID - Mengatasi gangguan psikologis pada anak pascabencana
Mengatasi gangguan psikologis pada anak pascabencana
Anak-anak memiliki kerentanan tinggi mengalami gangguan psikologis saat terjadi bencana. Gejala dan keparahannya bervariasi.
TUTURA.ID - Darurat Kekerasan Seksual Di Sulteng