Desakan pembebasan tiga petani Sidondo dan pembubaran Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) oleh puluhan aktivis dan petani Sigi, pekan lalu, menuai sorotan dari Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Sulteng.
Ketua Umum Badko HMI Sulteng, Alief Veraldhi, menyesalkan sikap Aliansi Perjuangan Rakyat Sulteng yang terdiri atas beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi mahasiswa, dan komunitas penggiat lingkungan terkait tuntutan tersebut.
“Kami menyayangkan sikap kawan-kawan aktivis yang menganggap mereka sebagai petani. Padahal, menurut Balai Besar TNLL, fakta di lapangan mereka ditangkap beserta sarana dan prasarana pendukung Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI),” kata Alief dalam rilis tertulis, Jumat (29/12/2023).
Alief menilai aktivitas PETI di kawasan TNLL yang terjadi hingga sekarang terus melahirkan konflik. Faktor penyebabnya karena lemahnya penegakan hukum dan minimnya edukasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Berdasarkan temuan organisasi berjuluk “Hijau Hitam” ini, di sekitar TNLL terdapat sebanyak 65 orang penambang berasal dari dalam dan luar Sulteng.
Mereka antara lain 30 orang dari Sulawesi Utara, satu orang dari Tasikmalaya (Jawa Barat), tiga warga Palu, satu warga Donggala, dan 30 orang dari delapan desa di Sigi, termasuk delapan orang warga Desa Sidondo I.
“Kawasan TNLL tak bisa dibiarkan terus menerus seperti ini, apalagi sampai mendesak pembubaran TNLL untuk kepentingan sesaat. Perlu ada solusi seimbang antara pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Menurut alumni Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako (Untad), ada beberapa kebijakan yang bisa diterapkan demi mengatasi problem ini.
Misalnya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan TNLL, mulai dari penyuluhan, pelatihan, rehabilitasi, dan pengamanan potensi hutan.
Hal lain yang bisa dilakukan, lanjut Alief, dengan menetapkan zona khusus pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan sumber air untuk keperluan setiap hari, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Jika masyarakat diberi akses, mereka akan punya rasa memiliki dan sukarela melestarikan hutan. Kalau mereka dapat manfaat, potensi konflik antarpihak bisa dihindari,” tutur Alief.
Ia juga mengajak sesama aktivis untuk cermat menyikapi persoalan agar tak ada lagi pihak yang jadi korban karena kepentingan pemilik modal. Tak lupa terus mendorong pemerintah bertindak tegas kepada cukong yang membiayai aktivitas PETI.
Respons Konsorsium Pembaruan Agraria
Koordinator Wilayah (Korwil) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulteng Doni Moidady menyebutkan, Badko HMI Sulteng salah menilai sikap lembaga mereka terkait situasi di lingkar TNLL
"Posisi kami bukan membela penambang sekaligus pemodal besar atau cukong yang dimaksud Alief. Kami membela petani sebagai subjek yg mengeklaim hak atas tanahnya dengan taman nasional," kata Doni kepada Tutura.Id, Selasa (2/1/2024).
Menurutnya, Alief gagal menangkap realitas dan dinamika kelas petani yang sudah bersinggungan dengan TNLL kurun tiga dekade terakhir.
Doni juga bilang jika Alief ahistoris sebab tak melihat situasi petani yang tak punya pilihan imbas krisis agraria dan ekonomi. Para petani menjadi penambang lantaran situasi sulit yang mengharuskan mereka tetap menghidupi keluarganya.
"Meskipun mereka punya tanah, mereka tetap petani kecil karena tak punya modal hingga input pertanian yang mahal. Situasi mereka kian pelik saat bencana alam 28 September 2018 dan pandemi Covid-19. Para petani inilah lapisan sosial terbawah dalam strata kapitalisme," terang Doni.
Perjuangan para petani melawan klaim sepihak penguasaan lahan maupun keterpaksaan menjadi penambang, sambung Doni, boleh dilihat dari sejumlah peristiwa di masa lampau yang terus berulang hingga sekarang.
Misalnya, perlawanan orang Katu di Lore Tengah (Poso) atas pemindahan paksa Pemerintah Kolonial Belanda dari permukiman mereka saat ini. Perjuangan orang Katu ini diceritakan secara runut dalam buku berjudul Kopi, Adat, dan Modal (2013) yang ditulis oleh Claudia D'Andrea.
Aksi relokasi itu kembali gencar dikampanyekan ketika Pemerintahan Suharto mendapat kucuran dana dari Asian Development Bank (ADB) demi membiayai sebagian dari perencanaan TNLL pada tahun 1996.
Atau paksaan kepada petani untuk menambang mika di Desa Towulu, Kulawi (Sigi) semasa pendudukan Jepang sebagaimana tertulis dalam jurnal berjudul Masa Jepang dan Tambang Mika (1996) yang ditulis oleh Lorraine V. Aragon.
"Orang-orang yang hidup di dataran tinggi memilih cara bertani padi ladang, kemudian dipaksa turun ke dataran yang lebih rendah untuk bertani padi sawah. Ini semata-mata demi menarik pajak dari petani. Proyek ini sebagai metode pendisiplinan petani untuk kepentingan ekonomi," terang Doni.
Tak hanya KPA Sulteng, desakan pembebasan tiga petani Sidondo getol dilakukan oleh Serikat Tani Sigi (STS), sebuah komunitas swadaya petani di Sigi. STS bahkan menolak keras program pemberdayaan BBTNLL.
Alasannya, mereka menilai jika aturan dan program balai (BBTNLL, red) selama ini tak pernah disosialisasikan sampai ke tingkat akar rumput, justru hanya sampai ke tingkat Pemerintah Desa (Pemdes).
menyoroti tuntutan desakan pembebasan pembubaran petani peti tnll hmi sigi sulteng