Menjadi sebuah cerita yang menggembirakan, progres dari musisi-musisi lokal diawal tahun ini. Ada beberapa yang mencuri perhatian, ada juga yang menjadi sebuah awalan menuju jalan yang terbentang luas.
Gelembung pertunjukan seperti gigs, konser maupun festival kini disambut dengan animo yang besar dari masyarakat. Kerinduan menonton langsung konser musik setelah sekian lama vakum akibat pandemi Covid-19.
Sekilas memang bila melihat di permukaan, geliat musik di Palu—bahkan Sulawesi tengah—kian hari terus bergerak kearah yang baik.
Tak bisa dipungkiri jika salah satu faktor bergeliatnya suatu ekosistem musik karena maraknya pertunjukan musik, terutama mulai bertumbuhnya beragam festival musik. Tetapi, gelembung pertunjukan musik ini mesti diimbangi dengan pengetahuan dalam penyelenggaraan pertunjukan musik yang baik dan profesional.
Ambil contoh, Rock in Celebes yang terus hadir dengan beragam terobosan dalam mengemas festival musik terbesar di Sulawesi itu pada setiap gelarannya. Dalam konteks Palu, Festival Titik Temu layak dijadikan inspirasi dalam konsep penyelenggaraan event musik.
Namun, jika sedikit melongok lebih dalam, ada banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.
Sebut saja peristiwa baru-baru ini yang menerpa salah satu musisi terkemuka tanah air, Mario G. Klau. Ia batal batal mentas di Kota Palopo, Sulsel, karena tak punya tiket pesawat, setelah sehari sebelumnya jadi penampil utama konser yang berlangsung di Gelora Bumi Kaktus (GBK), Palu (4/3/2023). Peristiwa ini tentu bikin penggemar meradang-sekaligus jadi penanda nyata benang kusut dalam ekosistem musik, di Sulawesi Tengah.
Upaya membangun ekosistem musik yang sehat
Perkara semacam itu, jadi topik paling mengemuka, dalam temu wicara yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Sulteng bertajuk "Baku Buka Festival 2023" yang merupakan bagian dari perayaan Hari Musik Nasional, yang saban tahun diperingati setiap 9 Maret.
Ketua DPD PAPPRI Sulteng, Umariyadi Tangkilisan mengatakan pentingnya menyadari gerak kolektif pada proses kreatif dalam sebuah ekosistem musik.
Pelibatan seluruh komponen di selingkar kehidupan bermusik menjadi mutlak, baik musisi, vendor sound, event organizer, pemerintah, jurnalis, promotor musik, maupun pemerhati musik sebagai bagian di dalamnya. Duduk bersama dan mengurai berbagai pekerjaan rumah sebagai gerak kolektif, mengikat mata rantai guna memperkuat ekosistem musik yang selama ini dianggap masih belum stabil.
“Salah satu momentum yang harus kita buat adalah membangun kesenian ini menjadi komoditi dan bisa menjadi sebuah lapangan kerja, identitas dan kebanggaan. Karena target membangun ekosistem musik, berarti tidak ada lagi pemain tunggal. Jadi tidak ada lagi dia yang ciptakan, menyanyi, meng-aransemen, memuji dan dia juga yang jengkel karena tidak terpasarkan dengan baik karyanya”, ujar Umariyadi di sela-sela kegiatan yang berlangsung di HOOK, Jalan Setiabudi, Palu Timur, Minggu sore (12/3/2023)
Menurut pria yang karib disapa Adi ini, ekosistem musik memang kerap jadi diskursus penting. Sebab, keterkaitan para pemangku kepentingan di sektor ini berpengaruh satu sama lain dalam menentukan kondisi kehidupan musik di suatu daerah. Pun demikian, termasuk pertumbuhan sektor musik diharapkan menstabilkan sumber pendapatan bagi mereka yang bekerja dalam sektor ini.
Seperti yang pernah dilaksanan PAPPRI Sulteng dalam Ecosystem Musik Fair 2022. Beragam diskusi dengan tema seputar ekosistem musik turut dilaksanakan seperti "Sosialisasi Hak Cipta" dan "Ngobrol Audio".
Yang juga mengemuka dalam diskusi ini adalah perlunya semacam inovasi yang dapat memberikan pengetahuan baru terkait industri musik. Pun perlu mendorong berbagai konsep event sebagai bentuk ‘kebaruan’ dalam pertunjukan musik.
Tak terbatas dalam hal musik, suguhan lain yang bisa dinikmati adalah stan-stan kuliner, fesyen, produk UMKM, dan pameran dari para komunitas.
Untuk mengatasi persoalan ekosistem musik memang perlu ada kerjasama lintas sektor antara pelaku industri musik, dan elemen yang lainnya. Demikian, ini akan menawarkan wawasan yang berharga mengenai cara kerja sektor musik yang ada, serta menjadi rambu-rambu untuk memberikan arahan yang baru sebagai bentuk dukungan dan inspirasi untuk tujuan bersama.
Alimuddin Paada, Ketua Komisi IV DPRD Sulteng, yang juga hadir dalam temu wicara itu mengatakan, tak kalah penting, berbicara tentang kebijakan atau regulasi, tak bisa dilepaskan dari peran negara atau instrumen pemerintahan didalamnya.
Pengembangan subsektor musik melalui Undang-Undang (UU) 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menjadi sesuatu yang penting. Pada level daerah, kini hadir Peraturan Daerah (Perda) 8/2021 Tentang Penyelenggaraan Kebudayaan Daerah.
Kedua regulasi diatas memang diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi para pegiat musik.
Pun hadirnya UU 24/2019 Tentang Ekonomi Kreatif dapat menjadi payung dalam mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia salah satunya musik. Sehingga berbagai hal mulai dari definisi pelaku kreatif, tujuan, pengembangan ekosistem ekonomi kreatif, hingga peraturan pelaksana terkait ekonomi kreatif.
Poin pentingnya lagi keberadaan PAPPRI ini dapat menjadi mitra pemerintah. Selama ini dalam membuat kebijakan terkait musik seringkali musisi tak pernah dilibatkan. Sementara pada satu sisi, pemerintah juga membutuhkan pihak kemitraan dari musisi untuk mendorong kebijakan yang inklusif bagi para pelaku musik dari berbagai kalangan manapun.
Lewat acara Baku Buka Festival 2023 ini, Adi berharap bisa jadi episentrum, untuk mempertemukan para pelaku di industri musik, sekaligus bersama-sama mengurai problem yang acapkali terjadi dalam ekosistem musik di Palu, bahkan di Sulteng.
“Sekarang bagi kita yang disini memulai momen-momen seperti ini, supaya saling berkaitan dan saling menghidupi”, pungkas gitaris band Culture Project.