“Dari tahun 1993, tanah kami itu hanya dipakai seperti itu saja pak. Bayangkan 30 tahun yang lalu. Itu lahan kami. Ok terima kasih,” ucap Ger Muller.
Susunan kalimatnya acak. Napasnya tersengal-sengal. Ger Muller sedang kehilangan kata-kata saat menyampaikan curahan hatinya sebagai perwakilan warga pemilik lahan di area perluasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kawatuna, Kecamatan Matikulore, Kota Palu.
Kamis siang (16/6/23), Muller berbicara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palu. Pertemuan itu antara lain dihadiri oleh Komisi C DPRD Kota Palu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu, Inspektorat Daerah Kota Palu, dan pemilik lahan.
Muller dan kawan-kawan mendesak agar Pemkot Palu segera melunasi pembayaran ganti rugi lahan warga yang dipakai dalam perluasan area TPA Kawatuna.
Sebelumnya, Pemkot Palu bersepakat untuk mengeluarkan biaya Rp10 miliar. Nilai tersebut dialokasikan untuk ganti rugi kepada 26 pemilik lahan. Sebagai catatan, TPA Kawatuna memang sudah tak sanggup menampung volume sampah Kota Palu dan butuh perluasan.
Masalahnya, hingga saat ini, Pemkot Palu belum bisa menggelontorkan uang ganti rugi kepada pemilik lahan lantaran terganjal berkas administrasi.
“Berkas tahap perencanaan masih perlu dilengkapi kembali penyusunan dokumennya,” kata Mohamad Arif, Kepala DLH Kota Palu, dalam rapat dengar pendapat di DPRD Kota Palu.
Perkara penyusunan dokumen perencanaan yang disebut belum rampung itu bikin berang Ketua Komisi C DPRD Kota Palu, Ahmad Umayer. Ia menyesalkan proses negosiasi pembebasan lahan yang sudah berlangsung saat tahapan perencanaan belum rampung benar.
“Di satu sisi wali kota melakukan nego, tapi sisi lain ada kendala aturan," ujar politis Partai Golkar itu. “Inilah akibatnya kalau persiapan dan perencanaan tidak matang. Akhirnya ketahuan juga di forum ini. Kenapa diusulkan anggarannya Rp10 miliar di APBD 2023, tapi uang itu tidak bisa juga dibayarkan kepada pemilik lahan.”
Nilai Rp10 miliar merupakan hasil kesepakatan antara Pemkot Palu dan para pemilik lahan. Ada sejumlah pertemuan di antara kedua pihak, termasuk proses mediasi pada 1 April 2023 di Rumah Jabatan Wali Kota Palu.
Saat itu, para pemilik lahan meminta pembayaran uang muka. Wali Kota Palu, Hadiyanto Rasyid menyanggupi untuk kasih panjar Rp3 miliar. Menurut pengakuan sejumlah orang yang hadir dalam mediasi, wali kota bahkan sempat menyebut bahwa uang panjar itu bersumber dari kantong pribadi.
Kini pencairan keseluruhan uang yang justru tak kunjung terjadi. Padahal, dalam rencana awal, pembayaran akan dilakukan pada triwulan pertama (TW I) alias Maret 2023.
Kadis Mohamad Arif mengatakan bahwa pihaknya akan mengupayakan penyelesaian tersebut pada tahun anggaran 2023–lantaran sudah dianggarkan.
“Sejak pertemuan terakhir kami dengan warga itu menanyakan kapan pastinya. Saya ingin menjawab karena tahapan setelah ini bukan kita yang lakukan, namun ATR/BPN. Tidak ada niat menahan uang, karena ini by process, tidak ada yang mau terjerat hukum atas proses ini,” ujar Arif.
Adapun acuan teknis yang dijadikan patokan ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/2021 tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan itu menjelaskan empat tahap pengadaan tanah, yakni perencanaan, persiapan, penyerahan hasil, dan pelaksanaan.
Adapun tahap perencanaan merupakan kewenangan instansi yang membutuhkan pengadaan tanah. Lalu, untuk persiapan menjadi urusan kepala daerah. Sedangkan tahapan pelaksanaan merupakan tugas pokok dari Kementerian ATR/BPN.
Janji (lagi), dan tak kunjung terealisasi
Pada kesempatan yang sama, Ger Muller, selaku perwakilan warga pemilik lahan, menyebut bahwa Wali Kota Hadi telah melempar janji baru. Pada pertemuan terakhir, 5 Juni 2023, di Rumah Jabatan Wali Kota, konon Hadi berjanji akan melunasi sisa pembayaran Rp7 miliar pada akhir bulan.
“Tanggal 5 Juni, saya bertemu langsung Pak Wali Kota di rumah dinasnya. Beliau mengatakan, di akhir Juni ini akan ada pembayaran lanjutan. Jadi saya ingin memperjelas lagi kepada DLH,” ujar Muller saat diberikan kesempatan berbicara.
Sontak perkataan Muller itu mengundang macam-macam reaksi. Alih-alih mempercepat penyelesaian, dalam kacamata sejumlah peserta rapat, langkah-langkah yang diambil oleh Wali Kota Hadi kian memperkeruh perkara.
Ahmad Umayer bahkan menyebut Wali Kota Hadi sebagai “sumber masalah.” “Inikan tidak boleh ada nego-nego tanpa pakai aturan. Inikan tidak boleh bagi seorang wali kota bahkan berani membayar panjar,” katanya.
Sekadar pengingat, masalah ganti rugi lahan TPA Kawatuna mulai merebak ke permukaan pada pengujung Maret 2023. Saat itu, para pemilik lahan melakukan pemblokiran akses ke TPA Kawatuna. Aksi itu akhirnya meredup setelah ada pertemuan dengan Wali Kota Hadi pada 1 April 2023.
Lantaran tak kunjung melihat realisasi janji pemerintah, warga kembali melakukan pemblokiran akses masuk ke TPA Kawatuna pada 14 April 2023. Aksi ini sempat mengganggu manajemen pengelolaan sampah di Kota Palu. Sampah pun menumpuk di berbagai titik hingga jelang perayaan Idul Fitri. Aksi blokir berakhir setelah ada diskusi dengan Pemkot Palu.
Kini, Gerr Muler dan kawan-kawan berpatokan pada janji terbaru Wali Kota Hadi dalam pertemuan 5 Juni 2023). Bila akhir bulan ini tak kunjung terealisasi; Muller juga enggan kasih jaminan bahwa pemilik lahan tidak akan menggelar aksi pemblokiran akses. “Mohon diperjelas dulu, janji itu lagi yang kami pegang,” ujarnya.