Sejak beberapa bulan lalu, saya mulai mendengar kritik-kritik soal akun kampus cantik di Instagram. Akun-akun macam ini mengatasnamakan kampus, dan suka berbagi foto-foto “mahasiswi cantik”. Di Universitas Tadulako, tempat saya berkuliah, ada akun serupa yang hits: @UntadBeauty.
Ada teman yang senang karena tampangnya mejeng di akun itu. Beberapa bahkan ikut mengglorifikasi akun ini sebagai tolok ukur kecantikan. Akan tetapi pelan-pelan ada juga yang merasa terganggu setelah fotonya tampil di feed @Untadbeauty.
Aktivitas ini bagi banyak orang di lingkungan kampus dianggap biasa. Rapat redaksi di Tutura.Id yang membuat saya merenungi ulang perkara akun kampus cantik. Akun-akun ini punya banyak potensi masalah.
Artikel Tutura.Id sebelumnya telah menjelaskan kelakuan @untadbeauty mengambil untung hingga sejuta sebulan, dengan sekadar kirim foto mahasiswi cantik. Aktivis isu perempuan juga sebut akun ini telah melanggengkan definisi kecantikan pada fisik semata. Dan yang paling membanggakan, Sejumlah mahasiswi mulai speak-up tentang ketidaknyamanan mereka.
Lewat tulisan ini, saya hendak menambahkan perkara. Bila diperhatikan akun-akun kampus cantik ini bisa dengan mudah menampilkan foto, asal fakultas, dan tahun angkatan mahasiswi.
Ada informasi yang dibagikan. Bahaya lain mengintai: Imbas dari penyebaran data pribadi.
Mengutip Panduan Memahami dan Menyikapi Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) yang dirilis oleh SAFEnet, penyebaran informasi tentang data pribadi ini dapat memicu kejahatan digital.
Adapun data pribadi bisa berupa nama, nomor identitas pribadi, hingga karakteristik personal seperti biometrik wajah dan jari. Pun ia bisa info seputar pekerjaan, kesehatan, edukasi, atau finansial.
Mungkin akun kampus cantik belum sampai melakukan aktivitas KGBO kelas berat seperti ujaran kebencian, perkara perdagangan perempuan, atau pemerasan seksual.
Namun akun kampus cantik sudah menyebar informasi standar seputar nama hingga status edukasi. Pun aktivitas itu kerap kali dilakukan tanpa persetujuan. Praktik ini saja sudah bisa masuk kategori KGBO.
Praktik KGBO lainnya ialah menguntit atau stalking, membuat akun impersonasi atau berpura-pura menjadi seseorang untuk merusak reputasi orang tersebut.
Tidakkah hal macam ini bisa dengan mudah dilakukan menimbang foto dan informasi mahasiswi tersebar lewat akun-akun kampus cantik.
Belum lagi pelecehan melalui pesan atau komentar kasar. Hal ini bisa dengan mudah terjadi lewat kolom komentar maupun layanan pesan langsung saat sebuah foto diposting lewat akun kampus cantik.
Sulawesi Tengah memang belum akrab dengan literasi digital. Alhasil perkara keamanan data pribadi belum menjadi isu pokok. Dalam Indeks Literasi Digital Indonesia keluaran Katadata dan Kominfo (2021), Sulteng hanya punya nilai 3,12, di bawah rata-rata nasional 3,49—status literasi digital diberi bobot dengan angka 1-5.
Menimbang situasi itu, barangkali kita memang perlu lebih serius membicarakan lagi tentang data pribadi.
Grefi Marchella, penulis magang di Tutura.id, sedang menempuh studi di Ilmu Komunikasi, Untad.