Kehidupan anak-anak masa kini tak bisa lagi dipisahkan dari dunia digital. Terutama anak yang masuk kategori digital native, seperti pada generasi Alfa. Generasi yang lahir ketika digitalisasi telah ada dan berkembang begitu pesat.
Bila ditelisik, data efek digital pada anak dapat dilihat dalam laporan Child Online Safety Index tahun 2022. Nyatanya tingkat keamanan anak di dunia digital saat ini masih terbilang rendah.
Indonesia menempati posisi ke-42 dari 100 negara dengan perolehan nilai indeks mencapai 46,9 poin. Dari 12 indikator yang dijadikan penilaian, empat di antaranya berkategori "merah", termasuk safety by design. Sementara delapan sisanya masuk dalam kategori "kuning".
Dengan fakta demikian, teknologi digital ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi memberikan manfaat bagi anak-anak, terutama kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain membawa ancaman baru bagi masa depan.
Contohnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Menurut lintasan kronologis, awalnya dari interaksi di dunia maya. Belum lagi child grooming atau praktik memikat anak dengan tujuan seksual.
Pada titik ini, efek negatif yang muncul tersebut menuntut upaya perlindungan anak di ranah daring melalui keterlibatan dan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk masyarakat.
Sebab bukan tidak mungkin lingkungan masyarakat dapat mendukung secara positif tumbuh kembang dan perlindungan anak.
Di lain sisi, juga perlu bersikap kritis terhadap faktor-faktor dalam masyarakat yang dapat menimbulkan risiko bagi anak, semisal perlakuan salah secara fisik, mental, dan atau sosial sehingga membahayakan kehidupan mereka.
Hal tersebut menjadi salah satu poin tujuan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri beberapa elemen organisasi masyarakat dan penyedia layanan internet. Kegiatan tersebut dilaksanakan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) di Tanaris Cafe, Palu Timur, Selasa (24/10/2023).
Diskusi kelompok terpumpun ini sudah kali ketiga dilaksanakan oleh bagian subprogram Child Protection Actor (CPA) sebagai upaya perlindungan anak di ranah daring.
Tujuannya untuk mendorong pemerintah membentuk kebijakan daerah yang secara rinci menjelaskan upaya dan langkah-langkah dalam melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan berbasis siber atau dunia maya.
View this post on Instagram
Belum ada regulasi khusus
Hingga detik ini belum ada regulasi jelas dan komprehensif dari pemerintah untuk mencegah berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi anak secara online di Indonesia secara substansial. Pun cara menanganinya.
"Banyak sebenarnya peraturan soal perlindungan anak. Sayangnya tidak ada yang fokus dalam persoalan daring ini," ungkap Laju Wardi, Koordinator Yayasan PKPA Wilayah Kota Palu, yang ditemui usai FGD.
Ikhtiar pemangku kebijakan terlihat dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Stranas PKTA). Namun, beleid tersebut belum diiringi hadirnya aturan pelaksana.
Begitupun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai kerangka hukum utama yang mengatur kejahatan di dunia maya. UU tersebut hanya mencakup pencemaran nama baik, materi kekerasan seksual daring, dan sejenisnya.
Pun di lingkup Kota Palu, Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak belum merinci konteks daring.
Artinya tidak ada alat atau mekanisme yang dapat dijadikan pedoman bagi instansi pemerintah dalam menjalankan tugas dalam konteks ini.
Yayasan yang hadir di Sulteng pascabencana 2018 lalu ini menekankan adanya urgensi regulasi yang mengatur secara khusus tentang perlindungan anak di dunia maya. Khususnya di wilayah Palu.
Ambil misal adanya sistem pencegahan yang melibatkan banyak pihak berkepentingan di bidang perlindungan anak.
Langkah ini penting menyusul berbagai survei dan kajian yang menemukan peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, terutama dalam bentuk eksploitasi di ranah daring.
Yayasan PKPA telah mengembangkan sinergi serta kolaborasi lintas sektor, mulai dengan pemerintah, lembaga sosial, hingga masyarakat. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan aman bagi anak di dunia daring.
Dorong kebijakan daerah
Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak di ranah daring merupakan tantangan baru yang perlu menjadi perhatian bersama. Kerentanan anak meningkat searah dengan meningkatnya akses anak terhadap internet.
Sebagai gambaran, tim cyber safety PKPA Sulteng yang tersebar di beberapa sekolah menemukan masih sering terjadi perisakan di ranah digital kepada siswa. Belum lagi kejadian yang tidak terlaporkan dan terkoordinasi dengan siswa maupun guru.
"Masalah yang sering dikeluhkan siswa dalam temuan kami adalah cyberbullying. Itu masih yang ter-cover dan diterima tim kami," kata Laju Wardi yang lulusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Tadulako.
Selain itu, misi advokasi tersebut juga diiringi dengan menghimpun data kasus-kasus yang terjadi di kalangan siswa sebagai bahan dalam penyusunan naskah akademik.
Kini, dokumen tersebut hampir rampung dan diupayakan dapat selesai akhir tahun ini. Nantinya dokumen tersebut akan diajukan sebagai bahan rujukan dan usulan dalam mendorong kebijakan perlindungan anak, khususnya di ranah daring.
Perlindungan ini tentu dipandang menjadi hal yang krusial untuk memastikan manfaat sebesar-besarnya bagi anak-anak, kontribusi bagi pembangunan bangsa, dan meminimalisir atau bahkan menghilangkan risiko ancaman bagi anak-anak.
Oleh karena itu, perlindungan anak dari kekerasan secara daring membutuhkan intervensi yang menyeluruh. Dimulai dari penguatan resiliensi anak, pengawasan keluarga dan lingkungan, hingga pengaturan pedoman standar.
"Selanjutnya kita adakan lagi FGD tentu dengan naskah akademik dari kami yang telah selesai tersusun. Akan kami undang pula Pemkot untuk sama-sama kita review. Harapannya nanti bisa terbuka keran bagi Pemkot dan juga Pemprov membuat aturan atau kebijakan perlindungan anak di ranah siber," pungkas Wardi.
anak digital digitalisasi generasi Alfa keamanan siber cyber security Yayasan PKPA Kota Palu perundungan perisakan cyberbullying