Sejak PPKM tidak lagi diberlakukan, Palu kembali memulai hiruk pikuk dipelbagai lini layaknya kota-kota lain di Indonesia. Berbagai festival atau konser musik terselenggara. Banyak musisi ibukota yang rencananya manggung dan menyambangi kota ini.
Namun, jangan kira semua perhelatan konser musik berakhir dengan kemeriahan penonton yang berseliweran di media sosial. Sebab tak sedikit pula festival atau konser bermasalah hingga meninggalkan kekecewaan, bahkan bikin orang-orang marah.
Semisal perkara kesalahan teknis saat event berlangsung, penonton yang tidak bisa masuk akibat kapasitas venue kadung penuh, atau bahkan acara mendadak dibatalkan mendekati hari pertunjukan.
Kalau sudah begini, lucunya para penonton atau pembeli tiket yang diminta untuk berkompromi alias memaklumi. Bentuk meminta komprominya juga beragam, mulai dari permohonan maaf panitia, pembeli alias konsumen yang dirugikan diminta bersabar, hingga pengembalian uang tiket yang tidak 100% sekalipun konser yang dijanjikan batal terselenggara.
Peristiwa tersebut bukan hanya sekali terjadi di kota ini. Dan anehnya kita juga seperti mengiyakan hal itu terus terjadi. Mungkin karena masyarakat kita yang belum teredukasi atau para penyelenggara yang tidak piawai menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara konser.
View this post on Instagram
Adanya kejadian-kejadian seperti ini penting untuk kita, para calon penonton, untuk lebih teredukasi mengenai segala hal seputar konser yang akan berlangsung.
Agar tidak menjadi korban, kita bisa mulai mencari tahu seperti siapa event organizer (EO) yang melaksanakan konser. Apabila punya rekam jejak yang sering bermasalah, sepatutnya lebih berhati-hati.
Atau jika kesulitan karena kebiasaan di kota ini EO konser sering berganti nama, cukup lihat siapa-siapa sosok di dalamnya. Jangan lagi kita memberi kepercayaan kepada orang-orang seperti itu. Menganggap remeh masalah dan selalu mengorbankan hak penonton.
Memang cukup sulit menerapkannya, tapi menjadi opsi paling masuk akal jika kita tidak ingin lagi jadi korban dan terus menderita kerugian perkara konser batal.
Kejadian ini juga jadi gambaran betapa tidak semua EO mumpuni menggelar konser. Tidak sedikit yang beranggapan menggelar konser pekerjaan yang mudah; cukup susun proposal ke pihak sponsor, bikin akun medsos, jualan tiket, dan voilà... konser terselenggara. Sungguh mulus.
Apabila hasil dari pihak sponsor dan penjualan tiket di depan—biasanya presale dan early bird—tidak dapat menutupi ongkos produksi, penyelenggara tinggal bikin pengumuman maaf via akun medsos bahwa konser batal.
Sungguh EO yang tidak punya integritas. Cara pengelolaan EO seperti itu sebenarnya tak lebih dari seorang makelar konser. Kecenderungan EO seperti itu hanya melihat konser sebagai ladang keuntungan ekonomi. Jika mereka anggap perhelatan konsernya berpotensi rugi bila dilanjutkan, maka keputusan pembatalan sepihak bisa langsung diumumkan.
Padahal kalau dilihat lebih luas lagi, banyak aspek selain ekonomi yang ingin kita capai atau bahkan pertaruhkan dalam sebuah penyelenggaraan konser. Terlebih jika melibatkan musisi ternama dari kota-kota lain.
Nama baik provinsi atau kota kita sebagai lokasi penyelenggaraan akan ikut tercoreng imbas kejadian model pembatalan konser sesuka hati ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan nama daerah secara umum jadi pusat perbincangan di kalangan sesama manajer dan musisi.
Tak menutup kemungkinan juga musisi yang pernah dibikin kecele, akan berpikir lebih panjang saban menerima tawaran manggung di daerah kita. Pasalnya ada contoh bagaimana musisi tak kunjung mendapatkan pelunasan honor dari EO meskipun sudah menjalankan kewajiban tampil di atas panggung.
Itu mengapa konser tidak sepenuhnya dilihat dari aspek keuntungan ekonomi semata. Pun perhitungan ekonominya tak melulu soal cuan tanpa memperhitungkan situasi terburuk.
Perumpamaan perhitungan sederhananya dimulai dari berapa modal yang dimiliki. Contohnya jika keseluruhan ongkos produksi konser nilainya Rp200 juta, pihak EO sepatutnya sebelum mulai woro-woro alias bikin pengumuman di medsos akan menyelenggarakan konser, minimal telah mengantongi 70% dari total ongkos produksi tadi.
Sisanya mungkin bisa tertutupi dari hasil penjualan tiket apabila memang konser tidak meraup keuntungan. Ingat bahwa EO adalah penyelenggara, bukan makelar tanpa modal.
Menyelenggarakan sebuah acara semacam konser musik sekaligus ajang pembuktian apakah sebuah EO atau orang-orang yang terlibat di dalamnya punya kapabilitas, terpercaya, dan punya integritas menyukseskan konser.
View this post on Instagram
Satu hal juga yang patut dipikirkan oleh mereka yang ingin menggelar konser atau melibatkan diri sebagai volunteer, menyelenggarakan acara pertunjukan atau konser musik bukan sekadar undang artis atau band, tapi tentang kecakapan mengidentifikasi kondisi dunia permusikan, masyarakat yang jadi calon penonton, ruang pelaksanaan, mitra atau vendor, dan mungkin masih banyak lagi hal-hal detail yang sering luput.
Oleh karena itu, boleh saja kita punya keberanian dalam urusan menyelenggarakan konser musik, tetapi jangan hanya modal nekat. Coba-coba bikin konser tanpa modal bisa jadi bencana. Sudah tak punya uang, tak cerdas pula tata kelola manajemennya. Sadar kapasitas merupakan kunci.
Ada satu lagi yang mungkin sering terlupa atau bahkan banyak yang tidak mengetahuinya bila terjadi kemelut antara para calon penonton dan EO akibat batalnya konser musik.
Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur asas hak dan kewajiban antarkedua belah pihak. Pasal 4 huruf h dalam UU tersebut menyebut pembeli tiket konser sebagai konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 7 huruf g UU yang sama menambahkan lagi bahwa konsumen dilindungi haknya dan apabila tidak terpenuhi haknya patut memperoleh ganti rugi 100%, bahkan bisa juga gugatan wanprestasi karena salah satu pihak, yakni EO tidak memenuhi perjanjian melaksanakan konser.
Sejauh ini kegagalan pelaksanaan konser di Palu belum mendapatkan tindakan tegas atau perhatian khusus dari pemerintah. Kita sebagai calon para penonton juga hanya melakukan pembiaran.
Padahal kita mengetahui pasti musabab batalnya konser akibat salah perhitungan pihak EO atau bisa saja permainan "nakal" pihak EO karena tahu ulah mereka tidak akan mendapat sanksi tegas.
Toh, seperti yang sudah terjadi sebelumnya, konser mendadak dibatalkan, tetap saja banyak yang menerimanya begitu saja. Soal ganti rugi yang tidak sesuai juga tidak pernah ada tindak lanjutnya. Ramai sesaat, lalu setelah itu terlupakan.
Hermawan Akil, Sarjana Ekonomi Manajemen yang kadang suka nonton konser
Catatan redaksi: Tulisan opini merupakan pandangan pribadi penulis. Tutura.Id menerima tulisan berbentuk opini sebagai usaha untuk memperkaya perspektif dalam melihat sebuah fenomena dan isu tertentu.
musik konser festival penyelenggara acara event organizer konsumen UU Perlindungan Konsumen hukum